Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Masa Depan Demokrasi Dunia Merujuk Pemilu 2024 di AS, India, dan Indonesia

Kompas.com - 04/12/2023, 09:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2024 menjadi tahun ujian bagi sistem pemerintahan demokrasi di dunia. Pasalnya, tiga negara besar penganut sistem pemerintahan demokrasi akan menyelenggarakan pemilihan umum.

Ketiga negara tersebut adalah Amerika Serikat, India, dan Indonesia. Amerika Serikat adalah negara kampiun demokrasi dunia yang acapkali dijadikan rujukan dan kiblat bagi negara-negara demokrasi lainnya.

Sejak negara ini lahir dua ratusan tahun lalu, sistem pemerintahan demokrasi telah berlangsung secara berkala dan konsisten.

Pemilihan berlangsung secara teratur, apapun keadaannya yang sedang dihadapi di negara tersebut. Dalam keadaan perang, krisis, kekacauan internal, dan sejenisnya, tidak menghalangi berlangsungnya pemilihan umum di negara Paman Sam.

Mengapa? Karena menurut standar Amerika, konsistensi dalam menjalankan demokrasi yang penampakannya bisa dilihat dari keberlangsungan proses elektoral secara berkala adalah tanda konsolidasi dan kemapanan demokrasi, selain faktor penegakan dan kepastian hukum dan kebebasan pers.

Seperti kata Mark D. Brewer dan L. Sandy Maisel dalam buku wajib para mahasiswa pascasarjana ilmu politik Amerika, "Parties and Elections in America: The Electoral Process," konsistensi berdemokrasi adalah salah satu ciri politik Amerika.

Mau hujan, badai, atau banjir, mau krisis, normal, stagnasi, resesi, perang, damai, dan apapun keadaannya, pemilihan tetap dijalankan pada waktu yang telah ditentukan. Tak boleh ditawar-tawar, ditunda, apalagi sampai memperpanjang masa jabatan presidennya.

Namun pada 2016, demokrasi Amerika Serikat mendapat ujian luar biasa. Keterpilihan Donald John Trump sebagai presiden ke - 45, bukan hanya mengagetkan seantero Amerika Serikat, tapi juga dunia.

Isu imigrasi (intoleransi) yang dimotori oleh spirit White Supremacy, antiglobalisasi, antiinstitusi demokrasi, dan sejenisnya, yang diusung oleh Donald J. Trump menurunkan derajat dan status negara kampiun demokrasi yang disandang Amerika Serikat selama ini.

Gerakan 6 Januari 2020 adalah puncak nyata dari spirit antidemokrasi Donald Trump, di mana beliau mendukung beberapa kelompok pemilihnya untuk mengepung dan menyerang Capitol Hill (kantor Kongres Amerika Serikat) sebagai bentuk penolakan atas hasil pemilihan umum tahun 2020 yang mengesahkan kemenangan Joe Biden, Presiden ke - 46 Amerika Serikat.

Dan kini, setelah dihadang berbagai kasus hukum, Donald Trump masih sangat berpeluang untuk maju kembali sebagai penantang utama Joe Biden yang kini berusia 81 tahun di pemilihan presiden 2024 nanti.

Apalagi setelah perang berkecamuk antara Palestina dan Israel, peluang Donald Trump semakin terbuka lebar.

Bukan karena elektabilitasnya meningkat, tapi justru karena tingkat aproval dan elektabilitas Joe Biden yang melorot akibat dukungannya kepada Israel dalam aksi militer membombardir kelompok Hamas di Gaza.

Dengan kata lain, Joe Biden berpeluang kalah karena banyak pemilih di Amerika Serikat justru memilih tidak ikut pemilihan umum.

Dan jika Donald Trump bisa kembali ke Gedung Putih, maka demokrasi Amerika Serikat akan semakin terpuruk di satu sisi, yang akan membawa tatanan ekonomi politik dunia lapuk bersamanya di sisi lain.

Sementara itu, India dan Indonesia adalah dua negara lain yang menjadi barometer demokrasi di benua Asia.

Bahkan hari ini, India bukan hanya negara demokrasi dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, yaitu 1,4 milyar manusia, tapi juga negara kampiun demokrasi Asia karena konsistensinya dalam berdemokrasi sejak negara India dilahirkan pada 1947.

Di sisi lain, Indonesia adalah pendekar demokrasi di Asia, selain India dan Jepang. Sejak reformasi 1998, Indonesia adalah kampiun demokrasi di Asia Tenggara alias menjadi denyut nadi demokrasi di dalam organisasi ASEAN.

Selain jumlah penduduk Indonesia terbesar di ASEAN (278,8 juta jiwa), tata kelola demokrasi di Indonesia juga dianggap sebagai praktik demokrasi yang paling mendekati praktik-praktik demokrasi di negara maju, dengan tingkat kebebasan dan keterbukaan pemilihannya yang cenderung lebih baik dibanding Singapura dan Malaysia, misalnya.

Namun, baik Indonesia maupun India, sama-sama belum sempurna dalam mempraktikkan demokrasi, terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yang dianggap oleh banyak analis dan pengamat, justru telah terjadi kemunduran demokrasi luar biasa.

Sejak Narendra Modi terpilih sebagai Perdana Menteri 2014 lalu, demokrasi di India semakin tercederai oleh praktik tirani mayoritas Hindu di satu sisi dan pemanfaatan "tirani mayoritas" tersebut oleh Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) untuk memelihara legitimasi pemerintahannya di sisi lain.

Walhasil, demokrasi di India semakin tidak toleran, terutama terhadap komunitas pemilih Muslim yang jumlahnya sekitar 200 jutaan penduduk.

Praktik-praktik diskriminatif, baik dari sisi sosial, politik dan ekonomi, juga secara administratif, menjadi pemandangan umum di India, sejak BJP dan Narendra Modi berkuasa.

Praktik-praktik tersebut telah menurunkan status India dari negara demokrasi dengan indeks demokrasi baik dan tinggi menjadi negara demokrasi dengan nilai "sebagian demokratis atau partly free" saja di dalam penilaian Freedom House Score.

Penurunan skor demokrasi India turut menjadi salah satu penyebab memburuknya pertumbuhan demokrasi dunia dalam satu dekade terakhir.

Namun semakin disayangkan, karena tiadanya pembatasan masa berkuasa seorang Perdana Menteri di India, layaknya di Turkiye, Narendra Modi juga sedang meniti jalan menuju episode ke tiga pemerintahannya, jika berhasil memenangkan pemilihan pada April dan Mei 2024, alias berhasil menghalangi laju Rahul Gandhi dari partai oposisi India, Partai Kongres, menuju bangku perdana menteri.

Berbeda tipis dengan India, yang sejak sepuluhan tahun terakhir kualitas demokrasinya semakin menurun, Indonesia pun dihadang masalah yang sama.

Keterpilihan Joko Widodo pada 2014 yang dianggap sebagai simbol kemenangan Reformasi atas penerus atau sisa Orde Baru (Prabowo Subianto) ternyata juga tidak membawa pematangan demokrasi Indonesia.

Selain sempat dilanda ancaman fanatisme dan radikalisme Islam yang berpeluang meningkatkan level intoleransi di Indonesia, semakin mendalamnya peran jejaring oligarki ekonomi di dalam pemerintahan Jokowi telah memperburuk level responsifitas pemerintah dan pejabat terpilih terhadap kepentingan publik di satu sisi dan memperburuk kondisi ketidakadilan ekonomi di sisi lain.

Situasi internal yang demikian berjalinkelindan dengan tendensi geopolitik dan geoekonomi pemerintahan Jokowi ke China, yang notabene bukanlah negara demokratis.

Walhasil, interdependensi ekonomi antara Indonesia dan China ikut memengaruhi praktik-praktik demokrasi di dalam pemerintahan Indonesia.

Atas nama kepentingan proyek-proyek strategis nasional yang menjadi lahan produktif untuk investasi dari China, praktik-praktik demokrasi dan penegakan hukum cenderung dinomor duakan.

Walhasil, secara teknis, sebagaimana ditulis oleh Edwards Aspinal dalam bukunya "Democracy for Sale" (2019), praktik-praktik "vote buying" dan "money politics" telah mengotori proses elektoral di Indonesia, ditopang limpahan dana dari para oligarki ekonomi yang ingin ikut mengamankan kepentingannya di dalam proses pemilihan umum.

Dan tak lupa, faktor pendorong yang juga sangat berperan dalam pembusukan demokrasi Indonesia adalah praktik dinasti politik yang mulai dimainkan penguasa jelang pemilihan 2024 nanti.

Hal tersebut bisa dilihat dari toleransi para elite-elite politik atas lahirnya UU Omnibus Law, politisasi penggunaan Undang – Undang ITE (informasi dan Transaksi Elektronik) untuk mengkriminalisasi para pengkritik pemerintah, pengacauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemanfaatan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kepentingan keluarga, politik dinasti, dan lainnya.

Semua contoh tersebut memperburuk kualitas dan performa demokrasi Indonesia sejak beberapa tahun belakangan.

Lihat saja, skor indeks demokrasi global Indonesia masih tercatat kurang berkembang positif. Indonesia berada di bawah Kolombia dan Filipina, sebagaimana terungkap dari laporan indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal Februari 2023 ini.

Skor Indeks tersebut memiliki skala dari 0 hingga 10. Pengukurannya didasarkan pada pemeringkatan 60 indikator, yang semuanya dikelompokkan ke dalam lima kategori: proses pemilu dan pluralisme; kebebasan sipil; fungsi pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik.

Setiap kategori akan diberi skala 0 sampai 10. Total indeks adalah rata-rata sederhana dari indeks lima kategori tersebut.

Indonesia kini berada di peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demokrasi tahun 2021 lalu. Namun, peringkat Indonesia turun dari 52 ke 54.

Indonesia kini berada di bawah Kolombia yang duduk di peringkat ke-53, yakni dengan skor 6,72. Indonesia juga berada di bawah Filipina yang berada di peringkat ke-52 dengan skor 6,73 dan Malaysia di peringkat 40 dengan skor 7,30.

Sementara itu, skor demokrasi (freedom score) Indonesia versi Freedom House juga tak membaik. Freedom House adalah lembaga di Amerika Serikat yang dipakai jasanya oleh banyak pihak untuk mengukur implementasi demokrasi.

Jika dilihat data Freedom House untuk Indonesia dari 2013 sampai 2022, skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.

Walhasil, Freedom House menetapkan status demokrasi Indonesia sebagai "partly free" alias belum sepenuhnya demokratis, sama seperti India.

Jadi pendek kata, kembali kepada prospek demokrasi global dari tiga pemilihan umum, dengan perkembangan politik di ketiga negara, Amerika Serikat, India, dan Indonesia, yang secara demografis menjadi tempat tinggal sekitar 2 miliar manusia, masa depan demokrasi dunia memang sedang diuji.

Progres positif atau negatif atas pergerakan demokrasi di ketiga negara ini diperkirakan akan sangat memengaruhi performa dan kepercayaan publik global atas sistem pemerintahan demokrasi.

Namun jika yang terjadi sebaliknya, di mana ketidakpastian global justru melahirkan aktor-aktor sayap kanan jauh atau kiri jauh yang justru berpotensi merusak institusi-institusi di ketiga negara ini, maka kepercayaan publik global akan semakin menurun atas demokrasi.

Dan itu akan menjadi awal masa depan yang suram bagi sistem pemerintahan demokrasi di seluruh dunia, di mana Indonesia juga berperan penting di dalam proses tersebut. Mudah-mudahan tidak demikian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Demokrat Anggap Rencana Prabowo Tambah Kementerian Sah Saja, asal...

Nasional
Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Indonesia Digital Test House Diresmikan, Jokowi: Super Modern dan Sangat Bagus

Nasional
Menko Polhukam Harap Perpres 'Publisher Rights' Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Menko Polhukam Harap Perpres "Publisher Rights" Bisa Wujudkan Jurnalisme Berkualitas

Nasional
Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP

Nasional
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com