Sementara itu, India dan Indonesia adalah dua negara lain yang menjadi barometer demokrasi di benua Asia.
Bahkan hari ini, India bukan hanya negara demokrasi dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, yaitu 1,4 milyar manusia, tapi juga negara kampiun demokrasi Asia karena konsistensinya dalam berdemokrasi sejak negara India dilahirkan pada 1947.
Di sisi lain, Indonesia adalah pendekar demokrasi di Asia, selain India dan Jepang. Sejak reformasi 1998, Indonesia adalah kampiun demokrasi di Asia Tenggara alias menjadi denyut nadi demokrasi di dalam organisasi ASEAN.
Selain jumlah penduduk Indonesia terbesar di ASEAN (278,8 juta jiwa), tata kelola demokrasi di Indonesia juga dianggap sebagai praktik demokrasi yang paling mendekati praktik-praktik demokrasi di negara maju, dengan tingkat kebebasan dan keterbukaan pemilihannya yang cenderung lebih baik dibanding Singapura dan Malaysia, misalnya.
Namun, baik Indonesia maupun India, sama-sama belum sempurna dalam mempraktikkan demokrasi, terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yang dianggap oleh banyak analis dan pengamat, justru telah terjadi kemunduran demokrasi luar biasa.
Sejak Narendra Modi terpilih sebagai Perdana Menteri 2014 lalu, demokrasi di India semakin tercederai oleh praktik tirani mayoritas Hindu di satu sisi dan pemanfaatan "tirani mayoritas" tersebut oleh Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) untuk memelihara legitimasi pemerintahannya di sisi lain.
Walhasil, demokrasi di India semakin tidak toleran, terutama terhadap komunitas pemilih Muslim yang jumlahnya sekitar 200 jutaan penduduk.
Praktik-praktik diskriminatif, baik dari sisi sosial, politik dan ekonomi, juga secara administratif, menjadi pemandangan umum di India, sejak BJP dan Narendra Modi berkuasa.
Praktik-praktik tersebut telah menurunkan status India dari negara demokrasi dengan indeks demokrasi baik dan tinggi menjadi negara demokrasi dengan nilai "sebagian demokratis atau partly free" saja di dalam penilaian Freedom House Score.
Penurunan skor demokrasi India turut menjadi salah satu penyebab memburuknya pertumbuhan demokrasi dunia dalam satu dekade terakhir.
Namun semakin disayangkan, karena tiadanya pembatasan masa berkuasa seorang Perdana Menteri di India, layaknya di Turkiye, Narendra Modi juga sedang meniti jalan menuju episode ke tiga pemerintahannya, jika berhasil memenangkan pemilihan pada April dan Mei 2024, alias berhasil menghalangi laju Rahul Gandhi dari partai oposisi India, Partai Kongres, menuju bangku perdana menteri.
Berbeda tipis dengan India, yang sejak sepuluhan tahun terakhir kualitas demokrasinya semakin menurun, Indonesia pun dihadang masalah yang sama.
Keterpilihan Joko Widodo pada 2014 yang dianggap sebagai simbol kemenangan Reformasi atas penerus atau sisa Orde Baru (Prabowo Subianto) ternyata juga tidak membawa pematangan demokrasi Indonesia.
Selain sempat dilanda ancaman fanatisme dan radikalisme Islam yang berpeluang meningkatkan level intoleransi di Indonesia, semakin mendalamnya peran jejaring oligarki ekonomi di dalam pemerintahan Jokowi telah memperburuk level responsifitas pemerintah dan pejabat terpilih terhadap kepentingan publik di satu sisi dan memperburuk kondisi ketidakadilan ekonomi di sisi lain.
Situasi internal yang demikian berjalinkelindan dengan tendensi geopolitik dan geoekonomi pemerintahan Jokowi ke China, yang notabene bukanlah negara demokratis.