Pada pemerintah, oposisi internal menjadikan garis antara koalisi dengan oposisi tidak jelas, sementara ketidaknetralan aparat negara akan berdampak pada rivalitas atau kontestasi pilpres menjadi tak adil.
Lantas bagaimana kedepan? Sebagai partai besar, PDIP harus segera menentukan arah dan pilihan politiknya. Jika tetap mau di pemerintahan, maka harus mendukung penuh, tegak lurus hingga pemerintahan ini selesai.
Jangan kemudian tampil bak oposisi, dan bahkan terkesan ‘playing victim’ mengkritik pemerintah dari luar, padahal mereka adalah partai pengusung utama dan kadernya juga ada di pemerintahan.
Atau bila sudah benar-benar tidak lagi sehaluan, agenda dan visi politik sudah tidak lagi sejalan, alangkah lebih baik PDIP menarik semua menteri, afiliator dan kader partainya dari pemerintahan eksekutif di tingkat pusat, menjadi oposisi.
Ini tentu akan melahirkan pembelahan politik yang baru. Koalisi yang memang telah terbagi pada tiga pasangan capres-cawapres, komposisinya kemudian akan menjadi satu koalisi benar-benar bersama pemerintah, sedangkan lainnya berhadap-hadapan dengan pemerintah (Jokowi).
Sekalipun tidak secara terbuka, tapi publik mafhum, Jokowi saat ini dengan sendirinya telah memosisikan diri sebagai king maker Prabowo yang berpasangan dengan putra sulungnya. Memenangkan pasangan itu menjadi batu uji eksistensi politik keluarganya.
Dalam pada itu, dengan realitas politik terkini, Prabowo mesti dan wajib menang satu putaran, jika tidak, tentu harus melalui putaran kedua.
Di fase itu, melihat pembelahan politik terbaru, sangat mungkin koalisi Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bakal menyatu, sebagai sesama korban putusan MK No.90, dengan tumbal Anwar Usman yang dipecat dari Ketua Konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.