Adian Napitupulu bahkan merasa perlu membeberkan asal muasal persoalan atau kerenggangan Jokowi dengan PDIP.
Ia menyebut pangkal ketidakcocokan itu karena partainya tidak mengabulkan permintaan Jokowi memperpanjang jabatannya sebagai presiden menjadi tiga periode atau menambah masa jabatan.
"Nah, ketika kemudian ada permintaan tiga periode, kita tolak. Ini masalah konstitusi, ini masalah bangsa, ini masalah rakyat, yang harus kita tidak bisa setujui,” kata Adian dalam keterangan tertulis (Kompas.com, Rabu, 25 Oktober 2023).
Kritik pedas juga datang dari Masinton Pasaribu. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu menyindir Presiden Jokowi soal adanya drama menjelang Pemilu 2024. Drama tersebut dinilai tak akan terjadi bila tidak ada yang membuatnya.
"Kalau nggak ingin ada drama, jangan menyutradarai," sindir Masinton kepada Jokowi yang disampaikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (Medcom.id, Kamis, 16 November 2023).
Menurut Masinton, sebagai seorang pemimpin harus konsisten. Pemimpin harus menjadi teladan. Ucapan serta perbuatan seorang pemimpin wajib untuk bisa dijadikan contoh kepada masyarakat.
Pernyataan politik beraroma oposisi dari dalam tubuh pemerintah (internal) model PDIP ini, tentu memperlihatkan partai tersebut satu kaki ada di pemerintahan, tapi kaki lain berlaku bak oposisi. Bermain dua kaki. Menimbulkan semacam polarisasi politik di internal koalisi pemerintahan.
Jika fenomena ini terus berlanjut, maka stabilitas politik pemerintah tentu saja bakal terganggu, menjadi beban bagi Jokowi di ujung kekuasaannya.
Jokowi tentu ingin mengakhiri jabatan dengan ‘husnul khatimah’, landing mulus di ujung landasan pacu kekuasaan. Namun berdasar dinamika belakangan ini, yang terjadi bisa saja sebaliknya, mendapat tantangan atau bahkan rongrongan dari dalam.
Anomali koalisi yang ada makin menarik dicermati karena sejumlah partai yang saat ini masih ‘setia’ dengan Jokowi sejatinya adalah mereka yang sebelumnya merupakan partai (kandidat) yang menjadi rival Jokowi pada pemilu sebelumnya.
Gerindra (Prabowo) dan PAN (Zulkifli Hasan) adalah ‘lawan’ politik Jokowi. Para rival ini justru baru masuk atau ditarik ke pemerintahan setelah diputuskan kalah oleh KPU dan presiden baru (Jokowi) dilantik.
Sementara PDIP, yang boleh dikata adalah partai yang membawa dan mengorbitkan Jokowi sejak dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menang pilpres dua kali, justru ‘menarik diri’ dari Jokowi.
Kekecewaan politik PDIP kepada Jokowi kelihatan telah di titik nadir, begitu pula sebaliknya Jokowi terhadap PDIP yang kerap merasa kurang dihargai. Menjadi seperti pasutri yang hidup serumah, tapi sudah pisah ranjang dan tak lagi saling berkomunikasi.
Ini tentu tidak sehat, karena yang terjadi kemudian adalah kegaduhan atau bahkan ‘kekacauan’ politik, baik itu di internal pemerintahan akibat adanya oposisi dari dalam (internal), maupun di arena kontestasi Pilpres 2024.
Di internal pemerintahan, masing-masing irisan politik tentu saja akan memaksimalkan struktur yang ‘dikuasai’ untuk memberikan insentif elektoral terhadap partai dan kandidatnya di pilpres.