Tak hanya itu, pemerintah juga bisa memanfaatkan perang dagang antara AS dan Tiongkok yang menyebabkan banyak industri yang beroperasi di Tiongkok mempertimbangkan untuk merelokasi usahanya.
Indonesia harus meningkatkan teknologi dan infrastrukturnya agar mampu bersaing di pasar global untuk meraih peluang menerima investor dan perusahaan yang akan merelokasi usahanya dari Tiongkok.
Kita harus memiliki biaya logistik yang rendah dengan industri berdaya saing. Dengan permasalahan buruh yang selama ini dinilai cukup memberatkan, kita perlu menyeimbangkan antara kesejahteraan dan daya saing industri.
Sementara itu, yang masih memprihatinkan adalah turunnya kontribusi dari sektor manufaktur, dari 27 persen pada 2005 menjadi 18 persen pada 2022.
Untuk tumbuh antara 6-7 persen kedepan, sektor manufakur harus memberikan kontribusi di atas 20 persen.
Perlu investasi yang besar, tidak hanya investasi pertambangan umum seperti nikel, tembaga, emas, perak dan lainnya, tetapi juga investasi industri manufaktur, seperti gula, besi baja, kimia dan teknologi informasi.
Untuk itu, diperlukan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor di bidang manufaktur berjangka panjang. Beberapa kebijakan tax holiday dan insentif lain perlu dikaji ulang mengapa kurang menarik.
Rasio investasi terhadap PDB saat ini mencapai 30 persen. Di Tiongkok dan India rasio itu mencapai 40 persen.
Rasio setinggi itu dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, berarti dibutuhkan sekitar tambahan investasi lebih dari Rp 2.000 triliun per tahun.
Silakan para Capres dan Cawapres membuat program menambal nilai investasi tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.