Untuk memuluskan hal ini tidak jarang demokrasi direkayasa demi mewujudkan hasrat kuasa atas dasar kekerabatan.
Faktanya, politik dinasti dan praktik nepotisme semacam ini pernah terjadi pada masa Orde Baru. Posisi-posisi penting dan strategis diduduki oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan sang penguasa.
Tidak hanya itu, praktik rekayasa demokrasi juga terjadi secara konsisten selama kurun waktu 32 tahun untuk memenangkan satu partai politik tertentu dan pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.
Kedua, penyalahgunaan kekuasaan sangat rentan terhadap maraknya praktik korupsi dan kolusi karena motif ekonomi sulit dipisahkan dari motif kekuasaan.
Sang penguasa membutuhkan modal sangat besar untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga potensi praktik korupsi sangat dimungkinkan.
Kekuasaan yang tidak terkendali akan menjadi sewenang-wenang dan bermuara pada penyimpangan. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin besar pula potensi untuk melakukan korupsi.
Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk menjalankan tugas secara bertanggung jawab malah dianggap sebagai kekuasaan milik pribadi.
Sama halnya dengan praktik korupsi, potensi terjadinya kolusi juga sangat besar, seperti yang baru-baru saja terjadi mengenai putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan kandidat capres-cawapres di bawah umur 40 tahun untuk bisa maju pilpres dengan syarat berpengalaman menjadi kepala daerah.
Putusan MK di atas, diduga sarat dengan praktik kolusi dan kepentingan politik karena adanya hubungan kekerabatan keluarga dalam pengambilan keputusan sehingga memunculkan kecurigaan publik terhadap MKRI, bahkan terhadap pemerintah.
Dari fakta ini kita boleh saja berasumsi bahwa orang paling mengerti tentang regulasi bisa jadi adalah orang yang paling berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan bisa memicu pemegangnya untuk mengupayakan cara dan strategi apapun untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya, bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara yang identik dengan kekerasan.
Contohnya adalah Adolf Hitler, pemimpin NAZI, yang dikenal dengan tragedi Holocaust (1941-1945).
Hitler terbukti telah melakukan genosida dan pembunuhan terstruktur terhadap kurang lebih 6 juta masyarakat Yahudi dan kelompok minoritas lainnya untuk mempertahankan kekuasaannya yang dilandasi dengan politik identitas.
Mari kita lawan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan! Berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan telah menimbulkan bahaya dan permasalahan besar bagi masyarakat dan negara.
Ini terjadi karena adanya ketidakberesan dalam proses perpindahan kekuasaan yang kerap terjadi di wilayah politik maupun di wilayah lainnya yang berkenaan dengan kenaikan jabatan strategis seperti di institusi atau lembaga sejenis.