Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Lawan Kerakusan Penguasa!

Kompas.com - 08/11/2023, 06:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Untuk memuluskan hal ini tidak jarang demokrasi direkayasa demi mewujudkan hasrat kuasa atas dasar kekerabatan.

Faktanya, politik dinasti dan praktik nepotisme semacam ini pernah terjadi pada masa Orde Baru. Posisi-posisi penting dan strategis diduduki oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan sang penguasa.

Tidak hanya itu, praktik rekayasa demokrasi juga terjadi secara konsisten selama kurun waktu 32 tahun untuk memenangkan satu partai politik tertentu dan pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

Kedua, penyalahgunaan kekuasaan sangat rentan terhadap maraknya praktik korupsi dan kolusi karena motif ekonomi sulit dipisahkan dari motif kekuasaan.

Sang penguasa membutuhkan modal sangat besar untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga potensi praktik korupsi sangat dimungkinkan.

Kekuasaan yang tidak terkendali akan menjadi sewenang-wenang dan bermuara pada penyimpangan. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin besar pula potensi untuk melakukan korupsi.

Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk menjalankan tugas secara bertanggung jawab malah dianggap sebagai kekuasaan milik pribadi.

Sama halnya dengan praktik korupsi, potensi terjadinya kolusi juga sangat besar, seperti yang baru-baru saja terjadi mengenai putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan kandidat capres-cawapres di bawah umur 40 tahun untuk bisa maju pilpres dengan syarat berpengalaman menjadi kepala daerah.

Putusan MK di atas, diduga sarat dengan praktik kolusi dan kepentingan politik karena adanya hubungan kekerabatan keluarga dalam pengambilan keputusan sehingga memunculkan kecurigaan publik terhadap MKRI, bahkan terhadap pemerintah.

Dari fakta ini kita boleh saja berasumsi bahwa orang paling mengerti tentang regulasi bisa jadi adalah orang yang paling berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan bisa memicu pemegangnya untuk mengupayakan cara dan strategi apapun untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya, bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara yang identik dengan kekerasan.

Contohnya adalah Adolf Hitler, pemimpin NAZI, yang dikenal dengan tragedi Holocaust (1941-1945).

Hitler terbukti telah melakukan genosida dan pembunuhan terstruktur terhadap kurang lebih 6 juta masyarakat Yahudi dan kelompok minoritas lainnya untuk mempertahankan kekuasaannya yang dilandasi dengan politik identitas.

Mari kita lawan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan! Berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan telah menimbulkan bahaya dan permasalahan besar bagi masyarakat dan negara.

Ini terjadi karena adanya ketidakberesan dalam proses perpindahan kekuasaan yang kerap terjadi di wilayah politik maupun di wilayah lainnya yang berkenaan dengan kenaikan jabatan strategis seperti di institusi atau lembaga sejenis.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com