Dalam putusannya, Mahkamah malah menyimpulkan masalah yang sesungguhnya terletak di legislatif dan masyarakat sendiri.
Praktik dinasti politik yang rentan korup, disebabkan karena institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, termasuk masyarakat sipil, tidak optimal menjalankan mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah.
Praktis, putusan ini yang kemudian membuka ruang bagi dinasti politik makin eksis di Indonesia, termasuk orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan.
Putusan presidential threshold (2017, 2018, 2020, 2021 2022)
Putusan yang tidak kalah problematik adalah mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam periode 2020-2022 saja, MK telah memutus 17 perkara uji materi presidential threshold (PT).
Dari ketujuhbelas putusan, setidaknya ada satu permohonan uji materi yang ditolak, 14 permohonan yang tidak dapat diterima oleh MK, dan dua permohonan uji materi tersebut ditarik kembali.
Mahkamah bersikukuh bahwa PT sebagai instrument political engineering berguna untuk memitigasi risiko dalam sistem presidensial multipartai. Padahal efektivitas PT sebagai political engineering tidak ampuh di lapangan.
Tiga kali pemilu, PT tidak bisa mengurangi jumlah partai politik, pun tidak memiliki korelasi dengan soliditas koalisi partai politik selama pemerintahan berjalan.
Ditambah lagi sejak 2014, partai yang bukan mengusung presiden terpilih bisa mendapatkan kue kekuasaan di tengah pemerintahan berjalan.
Sebaliknya, PT justru melanggengkan oligarki politik di Indonesia. Di atas kertas, PT seolah-olah memperlihatkan partai politik punya daya tawar kuat kepada calon presiden.
Ini mungkin benar di awal pemilu. Namun setelah pemilu ceritanya berbeda. Setelah presiden terpilih dan menjalankan pemerintahannya, partai politik tidak bisa berbuat apa-apa selain berkompromi dengan presiden.
Selain karena alasan-alasan pragmatis partai politik, presiden terpilih di Indonesia memiliki apa yang Chaisty, Cheeseman & Power (2018) sebut sebagai instrumen presidensial (Presidential Toolbox).
Dalam putusan-putusannya mengenai presidential threshold, MK khawatir bilamana presidensialisme tidak berjalan saat berhadapan dengan legislatif. Namun abai dengan fakta bahwa praktik instrument presidensial di Indonesia sangat inovatif.
Padahal elite di lingkaran kekuasaan bisa melakukan operasi dan intervensi politik informal kepada institusi legislatif dan yudikatif, termasuk petinggi partai politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Kekhawatiran saya, MK telah menjadi instrument presidensial, karena terus menolak gugatan PT tanpa alasan yang kuat secara legal empiris.