Putusan UU/ Perppu Cipta Kerja (2023)
Salah satu contoh intervensi politik informal kepada legislatif dan yudikatif bisa dilihat dalam kasus Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Kritik terbesar UU Ciptaker adalah pembahasannya terlalu dipaksakan dan terkesan terburu-buru di legislatif, sampai-sampai partisipasi publik direduksi. Tidak heran setelah UU ini disahkan, mahasiswa dan serikat pekerja melakukan demonstrasi besar.
Beberapa kelompok masyarakat melakukan uji materi ke MK. Hasilnya, dalam putusan nomor 91/PUU-XVII/2020, MK menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat.
MK mewajibkan eksekutif melakukan revisi, yang direspons dengan keluarnya Perppu no. 2 tahun 2022, yang kemudian ditetapkan menjadi UU no. 6 tahun 2023.
Belakangan MK menolak gugatan atas Perppu Cipta Kerja. Proses perumusan UU Ciptaker yang jelas-jelas kurang partisipatif dianggap lazim di tengah kegentingan yang memaksa.
Rasionalisasinya, perekonomian nasional berpotensi terdampak signifikan di tengah kondisi Perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19.
Jika demikian, sangat besar peluangnya bagi pemerintah untuk mengeluarkan Perppu di kemudian hari, dengan dalih gejolak ekonomi politik global atau kondisi geopolitik. Konflik di Timur Tengah hampir pasti mengeskalasi harga minyak.
Berangkat dari rekam jejak putusan-putusan tersebut, dan yang paling baru putusan soal batas usia minimal capres-cawapres (2023), apakah kekhawatiran saya mengenai MK telah menjadi salah instrumen presidensial beralasan?
Studi Chaisty, Cheeseman & Power (2018) yang saya rujuk sebelumnya membahas soal perbandingan presidensialisme minoritas di sejumlah negara dan bagaimana presiden terpilih di negara-negara tersebut berinovasi dengan instrument presidensial (presidential toolbox).
Istilah ini merujuk pada cara-cara yang ditempuh presiden dalam mengelola hubungannya dengan legislatif dan partai politik.
Mereka membagi instrumen presidensial ke dalam lima kategori, mulai dari kekuasaan legislatif presiden dan politik agenda-setting, kekuasaannya atas partai pengusung utama, otoritasnya untuk mendistribusikan posisi dalam kabinet pemerintahan, membuka dan menutup akses dan sumber daya politik, sampai dengan kemampuannya melakukan intervensi informal kepada partai politik dan kelompok-kelompok pendukung dan oposisinya.
Sayang sekali Indonesia tidak termasuk dalam objek perbandingan dalam studi tersebut. Mengingat dalam beberapa tahun belakangan, presiden dan para pembantunya terlalu inovatif dengan dengan instrument presidensial.
Seharusnya MK lebih khawatir dengan kondisi hiper-presidensialisme ini, karena kekuasaan eksekutif rentan disalahgunakan.
Dari sekian instrument yang dijelaskan, yang paling membahayakan, menurut saya, adalah instrumen-instrumen informal.
Bagaimana jika instrument presidensial tersebut digunakan presiden ke lembaga legislatif dan lembaga yudikatif seperti MK? Bagaimana jika melampaui institusi-institusi formal, misalnya ke kelompok relawan, media massa, dan akademisi?
Benar atau salah, biar waktu yang membuktikan, dan rakyat yang menentukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.