LEWAT sejumlah putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) seperti sedang mendorong Indonesia ke arah hiper-presidensialisme, dan ini problematik.
Istilah hiper-presidensialisme biasa digunakan ilmuwan sosial-politik untuk menggambarkan demokrasi ala Amerika Latin.
Di tengah kondisi pemerintahan yang lemah karena eksekutif berpotensi menjadi minoritas di hadapan legislatif, negara-negara Amerika Latin cenderung memperkuat dan memperluas kekuasaan eksekutif dalam taraf yang mengkhawatirkan, serta dengan menggunakan cara-cara legal dan informal untuk membuat masa jabatan Presiden petahanan lebih fleksibel.
Singkat kata, kondisi check and balances sulit terwujud di tengah kondisi hiper-presidensialisme karena eksekutif mampu mengkooptasi legislatif dan yudikatif sebagai perpanjangan tangannya.
Salah seorang ilmuwan politik, Kim Schepelle (2018) mengistilahkan karakteristik hiper-presidensialisme yang demikian sebagai legalisme otokratis.
Gejalanya bervariasi, mulai dari lembaga eksekutif yang gemar mengutak atik konstitusi, lembaga legislatif yang sekadar menjadi petugas stempel bagi kebijakan eksekutif, lalu putusan-putusan lembaga yudikatif yang terlalu pro terhadap kepentingan eksekutif, pendapat para pakar dan ahli yang kerap direndahkan dalam perumusan kebijakan publik, sampai dengan eksistensi lembaga-lembaga independen dan akuntabel dirusak.
Studi kasus di Amerika Latin memperlihatkan bagaimana Daniel Ortega dan Evo Morales bisa maju dan terpilih untuk ketiga kalinya sebagai Presiden Nikaragua dan Presiden Bolivia.
Salah satunya karena Mahkamah Agung Nikaragua dan Mahkamah Konstitusi Bolivia mencabut pasal yang membatasi petahana hanya bisa maju dua kali berturut-turut.
Yang terjadi di Indonesia baru-baru ini lebih soft. Dari isu perpanjangan masa jabatan, sampai Jokowi tiga periode, ternyata ceritanya belum selesai.
Kali ini Gibran Rakabuming yang terus didorong untuk menjadi calon wakil presiden untuk melanjutkan kepemimpinan. Puncaknya saat batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden digugat di MK, dan putusan kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023 keluar.
Sebelum putusan ini keluar, saya mencatat MK sudah beberapa kali mengeluarkan putusan yang punya tendensi ke arah hiper-presidensialisme, bernuansa legalisme otokratis.
Putusan soal dinasti politik (2015)
Melalui putusan nomor: 33/PUU-XIII/2015, Mahkamah telah membatalkan rumusan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dan penjelasannya karena pasal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, tentang hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Padahal pasal tersebut adalah satu dari sedikit political engineering yang mencegah praktik dinasti politik di Indonesia.
Dalam pasal yang sudah dicabut MK tersebut, dinasti politik dijelaskan dengan parameter yang jelas. Frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” berarti tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/ atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.