Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indra Sukmawan
Dosen

Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

"Hiper-Presidensialisme" dan Putusan-putusan MK

Kompas.com - 07/11/2023, 16:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LEWAT sejumlah putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) seperti sedang mendorong Indonesia ke arah hiper-presidensialisme, dan ini problematik.

Istilah hiper-presidensialisme biasa digunakan ilmuwan sosial-politik untuk menggambarkan demokrasi ala Amerika Latin.

Di tengah kondisi pemerintahan yang lemah karena eksekutif berpotensi menjadi minoritas di hadapan legislatif, negara-negara Amerika Latin cenderung memperkuat dan memperluas kekuasaan eksekutif dalam taraf yang mengkhawatirkan, serta dengan menggunakan cara-cara legal dan informal untuk membuat masa jabatan Presiden petahanan lebih fleksibel.

Singkat kata, kondisi check and balances sulit terwujud di tengah kondisi hiper-presidensialisme karena eksekutif mampu mengkooptasi legislatif dan yudikatif sebagai perpanjangan tangannya.

Salah seorang ilmuwan politik, Kim Schepelle (2018) mengistilahkan karakteristik hiper-presidensialisme yang demikian sebagai legalisme otokratis.

Gejalanya bervariasi, mulai dari lembaga eksekutif yang gemar mengutak atik konstitusi, lembaga legislatif yang sekadar menjadi petugas stempel bagi kebijakan eksekutif, lalu putusan-putusan lembaga yudikatif yang terlalu pro terhadap kepentingan eksekutif, pendapat para pakar dan ahli yang kerap direndahkan dalam perumusan kebijakan publik, sampai dengan eksistensi lembaga-lembaga independen dan akuntabel dirusak.

Studi kasus di Amerika Latin memperlihatkan bagaimana Daniel Ortega dan Evo Morales bisa maju dan terpilih untuk ketiga kalinya sebagai Presiden Nikaragua dan Presiden Bolivia.

Salah satunya karena Mahkamah Agung Nikaragua dan Mahkamah Konstitusi Bolivia mencabut pasal yang membatasi petahana hanya bisa maju dua kali berturut-turut.

Yang terjadi di Indonesia baru-baru ini lebih soft. Dari isu perpanjangan masa jabatan, sampai Jokowi tiga periode, ternyata ceritanya belum selesai.

Kali ini Gibran Rakabuming yang terus didorong untuk menjadi calon wakil presiden untuk melanjutkan kepemimpinan. Puncaknya saat batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden digugat di MK, dan putusan kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023 keluar.

Sebelum putusan ini keluar, saya mencatat MK sudah beberapa kali mengeluarkan putusan yang punya tendensi ke arah hiper-presidensialisme, bernuansa legalisme otokratis.

Putusan soal dinasti politik (2015)

Melalui putusan nomor: 33/PUU-XIII/2015, Mahkamah telah membatalkan rumusan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dan penjelasannya karena pasal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, tentang hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Padahal pasal tersebut adalah satu dari sedikit political engineering yang mencegah praktik dinasti politik di Indonesia.

Dalam pasal yang sudah dicabut MK tersebut, dinasti politik dijelaskan dengan parameter yang jelas. Frasa “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” berarti tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/ atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com