"Dalam Pasal 54 UU MK jo Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 disebutkan, bahwa permintaan keterangan pihak-pihak tersebut tidak bersifat wajib, melainkan pilihan, karena ditulis dengan kata 'dapat', bukan 'wajib," kata mereka lagi.
Hal ini dimohonkan sebab tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden berakhir pada 25 November 2023, sehingga dibutuhkan kepastian hukum segera melalui persidangan secara cepat.
Baca juga: Ajukan Uji Formil Putusan MK soal Usia Cawapres, 2 Ahli Hukum Minta Sidang Kilat
Sebelumnya, Eks hakim konstitusi dua periode, I Dewa Gede Palguna, menegaskan bahwa putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak bisa mengoreksi putusan MK.
Putusan yang dimaksud adalah nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres. Dengan demikian, MK membolehkan anggota legislatif dan kepala daerah di segala tingkatan maju sebagai capres-cawapres sebelum 40 tahun.
"Pendapat saya, sebagaimana telah saya sampaikan ke berbagai media, MKMK memang tidak boleh memasuki putusan MK," kata Palguna kepada wartawan pada Sabtu (4/11/2023).
"Wewenang MKMK adalah berkenaan dengan (dugaan) pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim (sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama). Artinya, kewenangan MKMK terbatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap hakim konstitusi jika terbukti melanggar," ujarnya lagi.
Baca juga: Eks Hakim MK Tegaskan MKMK Tak Bisa Koreksi Putusan MK, Hanya di Wilayah Etik
Namun, Palguna tidak menutup kemungkinan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bisa saja membuat gebrakan berkenaan dengan sanksi yang dijatuhkan untuk hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik.
"Namun tetap berada di wilayah etik, tidak memasuki putusan MK," ujar Palguna yang juga menjadi Ketua MKMK ad hoc pada awal tahun ini.
"Artinya, betapa pun jengkelnya kita terhadap putusan MK, putusan tersebut tetap mengikat sebagai hukum sesuai dengan bunyi Pasal 47 UU MK, 'Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum'," katanya lagi.
Menurutnya, putusan MKMK hanya bisa berdampak terhadap putusan MK jika putusan etik tersebut dijadikan sebagai bukti kuat untuk mengajukan alasan pengujian kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diubah Putusan 90.
"Pasal 60 UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa UU yang telah pernah dimohonkan pengujian tidak dapat diuji kembali kecuali alasan konstitusional yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda," ujar Palguna.
Baca juga: Diduga Bohong soal Alasan Mangkir Putus Perkara, Anwar Usman: Sumpah, Saya Minum Obat dan Ketiduran
Sebagaimana diketahui, ada dugaan kejanggalan dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kejanggalan itu diungkap sendiri oleh dua hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut, yakni Saldi Isra dan Arief Hidayat.
Dalam pendapatnya yang berbeda, Arief Hidayat mengungkapkan ada kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara soal batas usia minimal capres-cawapres yang ditangani MK.
Salah satunya adalah penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda yang berpotensi menunda keadilan.
Keganjilan lainnya adalah keterlibatan Ketua MK Anwar Usman atas salah satu perkara yang akhirnya dikabulkan sebagian MK. Padahal, dalam tiga perkara sebelumnya, Anwar tidak ikut terlibat dalam rapat pengambilan keputusan.
Diketahui, dalam tiga perkara sebelum perkara nomor 90, delapan hakim konstitusi kompak menolak gugatan karena dinilai merupakan ranah pembuat kebijakan atau open legal policy.
Baca juga: Anwar Usman Bantah Dituding Enggan Bentuk Majelis Kehormatan MK Permanen
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.