Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Kisah "Bucin" Kuasa Partai Beringin dan Keengganan Jauh dari Istana

Kompas.com - 04/11/2023, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan begitu, Beringin nampaknya akan tetap di Istana. Artinya, beringin jaman old, beringin jaman now, adalah Beringin yang sama.

Bukankah itu layak disebut sebuah konsistensi. Dalam konteks terbatas, jawabannya iya. Dan kembali lagi ke logika awal, cukup dipahami saja. Itu lah jalan terbaik bagi rakyat Indonesia.

Karena betah di kasur kekuasaan, Beringin tahun 2019 tak mau lagi salah perahu. Nahkoda baru bernama Airlangga Hartarto itu mantap mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Di mata Partai Golkar, Prabowo tak semenarik tahun 2014 lagi, karena lima tahun beroposisi. Peluang berkuasanya pasti kian tipis.

Kali ini, Beringin tak salah berdiri. Jokowi bertahan di Istana. Jusuf Kalla keluar, Ma’ruf Amin masuk. Dan sebagaimana seharusnya, Partai Golkar bertahan memeluk bantal kasur Istana.

Tapi Golkar tak lagi sendiri. Ada Prabowo dan Gerindra yang sudah bosan jadi oposisi. Prabowo kemudian masuk kabinet dan didapuk menjadi Menteri Pertahanan.

Dan menjelang pemilihan tahun 2024, Beringin mulai membuat gerakan. Beringin adalah partai pertama yang membentuk koalisi, bernama Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB.

Anggotanya adalah Beringin, Matahari, dan Partai bersimbol Ka’bah. Tak ada tokoh yang layak dijual untuk menjadi capres di dalamnya, termasuk sang ketua umum Beringin sendiri.

Karena fakta tersebut, sudah bisa ditebak bahwa KIB memang tak seserius sesumbarnya. Nama Airlangga yang dijual terus-menerus sebagai capres nyatanya tak pernah dibeli publik.

Sehingga KIB tak lebih dari sekadar koalisi minum kopi, bertukar ide dan masukan, agar Koalisi semakin molek dan bisa dijual kepada jejaring elite ekonomi politik, bukan kepada rakyat.

Hal itu terbukti setelah PDIP mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden resmi PDIP. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) langsung banting stir berubah pikiran. Tanpa aba-aba, PPP melabuhkan dukungannya kepada Ganjar Pranowo dan berkoalisi dengan PDIP.

Otomatis, anggota koalisi KIB hanya tersisa dua partai dengan persentase kepemilikan kursi di DPR kurang dari 20 persen. Mau tak mau, secara de facto KIB sudah tidak layak lagi mengusung pasangan capres dan cawapres, karena tak memenuhi syarat lagi.

Di tengah dinamika politik yang menimpa KIB tersebut, Partai Golkar dan Airlangga terus melakukan improvisasi politik dengan agenda menjual namanya sebagai bakal calon wakil presiden, baik kepada Prabowo Subianto maupun kepada Ganjar Pranowo, meskipun secara formal Partai Golkar masih tetap bersikeras bahwa Airlangga adalah bakal calon presiden partai, bukan bakal calon wakil presiden.

Luhut Binsar Panjaitan (LBP) mengistilahkan manuver Airlangga tersebut dengan istilah "shopping around".

Tak berselang lama, nama Airlangga muncul sebagai saksi yang dipanggil oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi ekspor CPO. Airlangga tercatat dua kali dipanggil dan mendatangi Kejaksaan Agung.

Sejalan dengan itu, kader muda Partai Golkar yang belum lama didapuk oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, juga terseret kasus lain di Kejaksaan Agung.

Namanya muncul sebagai sosok yang diduga menjadi penerima uang suap sebesar Rp 27 miliar untuk melicinkan kasus BTS di Kejagung.

Dari sisi politik, muncul wacana Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) di internal Partai Golkar yang arahnya tak lain adalah untuk menggeser Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai.

Dua nama yang santer melekat dengan wacana Munaslub Golkar tersebut adalah Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia.

Dan semua tekanan tersebut, baik dari sisi hukum maupun politik, terhenti seketika setelah Partai Golkar secara dadakan berhenti "shopping around" dan bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) melabuhkan dukungan politik resmi kepada kubu Prabowo Subianto.

Aksi wara-wiri Partai Golkar sebelum merapat ke Prabowo sebenarnya bukanlah untuk tujuan kepentingan rakyat pemilihnya, tapi untuk mencari celah agar Airlangga sebagai ketua umum bisa mendapatkan tempat yang proporsional di kubu yang ia dekati, yakni bakal calon wakil presiden.

Jadi Airlangga sebenarnya memainkan watak Golkar sebagaimana mestinya, yakni mencoba menemukan segala celah yang mungkin untuk dimasuki agar bisa tetap menjadi bagian penting di dalam kekuasaan.

Jika celah untuk menjadi bakal calon wakil presiden itu tak ditemukan, maka Partai Golkar akan berusaha berada di pihak yang dianggap didukung oleh kekuasaan.

Dalam konteks politik elektoral, itulah yang dilakukan oleh Partai Golkar dengan merapat secara tiba-tiba ke kubu Prabowo.

Apalagi sebelumnya ada beberapa masalah yang sedang meyelimuti Airlangga dan Kader Mudanya. Sudah bisa dipastikan Airlangga dan Golkar akan memilih menyelamatkan diri dan partainya di satu sisi dan memastikan tempat berlabuhnya adalah tempat yang didukung oleh pusat kekuasaan yang sedang berkuasa di sisi lain.

Pendeknya, memandang Partai Golkar harus dengan kacamata kekuasaan. Bukankah selama ini semua gerak-gerik politik Partai Beringin adalah gerak-gerik berlatar dahaga atas kuasa dan kegenitan untuk selalu dekat dengan Istana, terlepas siapapun yang ada di Istana? Silahkan publik yang menilai sendiri saja.

Memakai bahasa anak gaul kekinian, Golkar adalah partai yang selalu dan tanpa malu-malu memperlihatkan tabiat "bucin" pada kekuasaan dan tak pernah berhasrat untuk berada jauh dari Istana.

Sebuah tabiat politik yang mudah diendus dan dideteksi sedari awal, tapi sulit untuk dimaklumi di era demokrasi saat ini, baik secara moralitas politik maupun secara etika demokrasi.

Ya, begitulah Golkar. Jika Prabowo-Gibran kalah, hampir bisa dipastikan Golkar akan seperti tahun 2014, kemungkinan balik arah dan berlari sekencang-kencangnya ke Istana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com