Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Kisah "Bucin" Kuasa Partai Beringin dan Keengganan Jauh dari Istana

Kompas.com - 04/11/2023, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GOLKAR pra dan pascapilpres 2014 lalu sering kali terlihat sempoyongan tak karuan, bergerak linglung seperti layaknya seseorang sedang lupa ingatan. Penyebabnya adalah tarik menarik kuasa di internal partai dengan pemangku kuasa di Istana.

Namun itu dianggap wajar saja oleh publik. Karena pohon tersebut sangat besar, punya sejarah politik kekuasaan yang belum tertandingi, bahkan oleh PDIP sekalipun. Dan tak lupa, memang sangat "bucin" pada kekuasaan.

Sejarah berkuasa partai ini cukup lama. Jadi jika ada yang berpikir bahwa Partai Golkar sempoyongan karena ada kecenderungan akan mencondongkan diri ke luar halaman Istana, hampir pasti akan banyak yang tidak akan menerimanya.

Kemungkinan besar yang akan muncul adalah gejolak internal. Boleh jadi, akan muncul intrik-intrik dan kubu-kubuan.

Sekali lagi, wajari saja, tidak ada masalah. Rakyat pemilih pun saya kira akan mahfum belaka. Lah wong partai ini adalah partai yang tak mungkin jauh dari kekuasaan.

Napasnya bahkan boleh jadi dari angin kekuasaan. Tak ada hari tanpa kekuasaan. Dan kalau ditemukan ribut-ribut di dalamnya, pasti tak jauh dari urusan kekuasaan juga.

Meskipun berangkat bersama gerbong yang kalah, Beringin pasti tetap parkir pada akhirnya di halaman parkiran para pemenang.

Lihat saja tahun 2014 lalu. Publik menyaksikan Partai Golkar dengan berat hati harus mengatakan “goodbye” kepada sekondannya di dalam Koalisi Merah putih (KMP) untuk merapat ke Istana.

Menggunakan kacamata di atas, maka itupun biasa saja. Tak ada “farewell party” yang berlebihan dengan KMP kala itu.

Bahkan ketika itu tokoh sekaliber Prabowo Subianto sangat memahami dengan menyematkan sedikit kata permakluman bahwa Partai Gerindra memahami kondisi politik yang ada dan memahami keputusan “on the record dan off the record” yang diambil oleh partai dengan simbol pohon beringin itu jika akhirnya ternyata harus merapat kembali ke Istana alias kembali ke kebiasaan Beringin, yaitu memejamkan mata tertidur pulas di Istana dan terbangun di Istana pula.

Karena prinsip memahami itulah Partai Gerindra akhirnya sangat ikhlas menjadi oposisi bersama PKS pasca-2014, terlepas urusan seberapa dekat Prabowo dengan Aburizal Bakrie secara personal.

Hal tersebut, bagi Partai Gerindra, layaknya memutuskan untuk menjomlo. Toh adigium millenialnya berpesan bahwa jomlo itu pilihan, bukan nasib. 

Kadang-kadang orang jomblo memang suka membela diri, karena realitasnya memang sendiri, tak ada pasangan dan kawan, maka definisinya sudah seharusnya menjomblo, apapun latar belakang yang menyebabkan mengapa seseorang sampai harus menjomblo.

Tentu ketika itu bukan perkara bahwa di dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi, tapi adalah perkara "saling memahami." Sekali lagi saya tekankan, yaitu perkara saling memahami.

Koalisi Merah Putih yang semula kelihatan begitu tambun dengan anggota-anggota koalisi yang para politisinya memang sudah berumur di atas 50 tahun (artinya obesitas adalah hal yang biasa), memahami Partai Golkar, partai terbesar di dalam koalisi dan memaklumi mengapa sampai terombang ambing ombak besar antara Ancol (HR Agung Laksono) dan Bali (Aburizal Bakrie).

Kenyataan tersebut memang harus dipahami semua pihak, terutama oleh pihak-pihak yang semula telah membesarkan KMP. Bukankah memang sudah seharusnya untuk saling memahami.

Mengapa? Karena berpolitik adalah bersikap realistis. Jika tak butuh berteriak melebihi kenyataan, mengapa harus berteriak berlebihan.

Jika memang ‘bubar” adalah pilihan terbaik, ya semua pihak harus menerima hal semacam itu. Ibarat orang berpisah, tapi tak bercerai.

Yang satu harus mengais rezeki di dalam Istana, yang lain harus mencari makan di luar Istana, ya sama saja, sama-sama judulnya mencari makan. Itulah yang disebut realistis di dalam berpolitik praktis.

Ibarat pasangan lama yang sudah saling memahami, yang satu harus merelakan diri menjadi “emak-emak” genit yang cubit sana cubit sini, yang satu berfilsafat tentang kesetiaan dan murninya sebuah perasaan, sehingga dikhianatipun masih terasa sangat manis.

Jika ada yang menyebut itu sebagai masokisme politik, ya itu cuma perkara terminologi saja, kebetulan yang memberi gelar dan istilah tersebut memahami ilmu psikologi, misalnya.

Toh orang partai jarang juga yang belajar psikologi, tak penting bagi mereka istilah ini dan itu yang diproduksi di kampus atau di laboratorium, sungguh tak penting, percaya deh sama saya.

Bukankah sudah biasa para politisi menganut ajaran “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Mau dikata apa, mereka tetap berasaskan “terserah”. Maksudnya, “terserah” siapa yang anjing dan siapa yang kafilah, yang penting asasnya ya begitu itu, “terserah”.

Bahkan jika raja dangdut H. Rhoma Irama pun ikut terenyuh melihat kondisi yang ada saking semrawutnya, lalu berujar “terlalu” dan tanpa sadar tertular, kemudian ikut-ikutan mendirikan partai.

Lalu asas itu akhirnya sedikit berubah menjadi “terlalu terserah”, tapi konsep utamanya tetap sama, yakni “terserah”.

"Terserah orang-orang pada bicara apa, sakit ya sakit saya, partai ya partai saya, untung ya untung saya, tapi kalau rugi ya nanti dulu”, begitulah kira-kira prinsipnya.

Di sisi lain, jika Istana terkesan mengobok-obok partai berwarna kuning sejak pilpres 2014 berakhir, bahkan sampai hari ini, maka itupun wajari saja. Itulah politik. Apapun akan menjadi sah-sah saja jika semua pihak pada akhirnya bisa diajak untuk menyepakatinya.

Istana (Istana bisa direpresentasikan dengan apa saja, selama itu terkait dengan istana alias tidak melulu harus presiden) yang kekuasaannya tak perlu lagi dipertanyakan, pasti mampu melakukan itu.

Nah, topiknya akan kembali lagi ke urusan realistis tadi. Jika Istana mampu, maka wajar Istana melakukan itu. Obok sana obok sini, siapa berani larang. Itu adalah realisme politik. Jika mampu, ya lakukan saja.

Urusan ada aturan main, itu pastinya urusan belakangan. Aturan dibuat untuk diubah, jika perlu. Jika tak perlu, ya mari sama-sama kita berteriak “tegakkan hukum meskipun langit runtuh”.

Dengan logika seperti itu, terlihat begitu sederhananya urusan politik itu, bukan? Rakyat tak perlu pusing dengan mengatakan bahwa urusan politik adalah urusan orang gedean, urusan yang memusingkan.

Toh hari ini terlihat semuanya sederhana saja. Mereka berteman, mereka terkadang saling menggunjingkan layaknya Anda menggunjingkan tetangga atau mantan sahabat yang sudah jarang bertegur sapa. Itu biasa saja. Itulah hidup. Dan itulah politik sevulgar-vulgarnya politik.

Kuncinya, pahami saja layaknya mereka saling memahami. Bukankah keharmonisan itu bermula dari kesalingpahaman, lalu saling memberi dan menerima, saling menghormati dan memberi respons positif.

Jika perlu saling bertukar nomor rekening. Itulah nilai-nilai ketimuran yang sudah membesarkan kita.

Dan mereka sedang menerapkan itu, lalu mengapa harus dipersoalkan. Mereka memainkan kartu yang seharusnya dimainkan. Itulah mengapa harus dipahami dengan seluruh jiwa dan raga kita sebagai rakyat, yaitu "Mereka adalah Politisi, bukan gembel".

Goyangan beringin bukan karena urusan konstelasi politik Istana yang belum permanen. Istana tak perlu takut beringin akan roboh ke halaman tetangga.

Beringin adalah partai yang sedari mulai ngantuk, lalu bangun, makan, minum, mandi, sampai ngantuk lagi, memang sudah terbiasa di Istana.

Dan selain itu, konstelasi politik Istana sedari dulu memang tak pernah permanen, sudah biasa pasang surut dan jatuh bangun, terutama sejak reformasi bermula.

Jadi badai di beringin hanya urusan saling memahami. Istana paham, Golkar pun paham, sehingga mau tak mau Gerindra dan PDIP pun harus pula paham, PKS dan PAN plus PKB pun demikian. Itu saja.

Nah, dengan asas terserah tadi, jika Istana yang secara konstelatif disokong oleh PDIP lalu kemudian tertimpa Golkar dan mendadak bertampang gondrong karena kepala banteng harus ditiban pohon beringin yang rindang, itupun tak perlu dipandang sebagai sesuatu yang lucu.

Itu biasa saja, tak perlu memakai teori-teori dari sekolah penata rambut (school of Hairdressing) bahwa itu penampakan yang buruk, mereka tak akan paham.

Besar kemungkinan tidak ada yang lulusan sekolah penata rambut di dalam partai, jadi tak akan ada yang mengamini bahwa itu adalah penampilan buruk. Gondrong atau Mohawk, spike atau cepak, tak penting bagi politisi partai. Dan lagi-lagi pahami saja. Itu kuncinya.

Dan Beringin yang meniban kepala banteng kemudian bergoyang diterpa angin, kadang ada kutu, lalu ganti gaya, ganti penata rambut, itu pun biasa saja.

Pascapilpres 2014, ‘angin sepoi’ berupa rekaman terlarang terkait Freeport milik si papa atau hujan badai bernama dosa kasus E-KTP, pada ujungnya hanyalah buah dari kesalingpahaman antara sesama teman.

Karena teman paham kekuatan temannya, kadang iseng ingin mencoba untuk mengujinya. Kalau kalah, itupun kalah oleh teman sendiri, teman sesama politisi.

Rakyat pun tidak akan untung, pedagang kaki lima tak akan bertambah omzetnya, nelayan tak akan sekonyong-konyong lunas kredit kapal mungilnya, petani tak akan mendadak lepas dari lilitan utang pengijon, dan lain-lain.

Toh awal reformasi, kepala beringin pun tersangkut kasus, bolak balik mendatangi pengadilan ikut persidangan. Tapi untung lolos dari jerat hukum, kemudian menang di Pileg 1999. Itu lah Beringin.

Saat Wapres JK yang pendamping SBY mendadak mengusai Beringin setelah menduduki kursi kekuasaan sebagai pendamping SBY, Beringin sempat sedikit konsisten dalam gaya rambut karena jarang diterpa angin kencang.

Lalu saat estafet berpindah ke ARB, situasipun hampir serupa. Sang presiden dan ARB ketika itu saling memahami, sampai-sampai kasus Lumpur Lapindo pun jadi urusan negara.

Angin datang lagi saat Jokowi dan JK mulai mengetuk pintu Istana. Kongres Bali mendapat saingan di Ancol. ARB versus Agung Laksono, begitu judulnya saat itu. Negosiasi berlangsung alot, baik dari sisi Agung maupun ARB.

Lalu angin Papa minta saham menerpa. Dalam pemberitaan papa dituding meminta saham Freeport. Goyangan Beringin semakin hot. Papa lengser di DPR. Ade Komarudin alias Akom ambil panggung, jadi Ketua DPR.

Tapi papa bukan anak kemarin sore. Pada tataran tertentu, papa menikmati goyangan layaknya penyanyi dangdut. Beliau makin hot.

Dengan goyangan lainnya, papa berhasil menjadi pemegang estafet ARB di Beringin, dengan lawan Ade Komarudin. Posisi berganti. Papa kembali ke singgasana ketua DPR. Akom pun balik kandang.

Tak berselang terlalu lama, peluru dari KPK datang tiba-tiba. Merek pelurunya adalah E-KTP. Papa terbangun dari keterlenaan. Status tersangka jilid satu dikalungkan di lehernya. Papa kembali bergoyang, malah semakin hot.

Walhasil, di praperadilan, kalung tersangka lepas. Papa senyum simpul. Tapi E-KTP bukan satu peluru, KPK kembali memasangkan kalung dengan liontin tersangka jilid dua.

Karena terlalu banyak bergoyang, papa merasa terlalu panas. Papa mulai berkeringat, energi untuk bergoyang mulai habis, maklum, faktor umur.

Melihat papa berkeringat, sang supir mulai grogi. Tiang listrik mendadak jadi pelampiasan. Hidung Fortuner milik papa penyok, tiang listrik tak bergeming. Kali ini sejarah berbalik. Papa ternyata tak sehebat itu.

Kelemahannya salah satunya adalah tiang listrik. Hal itu terbukti dari duel tersebut. Tiang listrik membuat papa masuk rumah sakit, dengan benjol sebesar bapao, kata pengacaranya kala itu.

KPK makin semangat melihat hasil pertahanan tiang listrik. Masa kalah sama tiang listrik yang ternyata mampu mengirim papa ke rumah sakit, mengapa KPK tidak. KPK dengan semangat 45 akhirnya menambahkan kalung tersangka dengan baju orange.

Papa untuk sementara terkunci. KPK untuk sementara pula boleh tersenyum. Tapi apakah cerita selesai? Biarlah jadi urusan papa dan KPK. Karena papa sudah tak berbaju kuning lagi (tapi orange), dinamika di dalam Beringin mulai ikut panas. Papa akan digantikan.

Tapi gelagat masih sama. Pengganti yang berpotensi adalah pengganti yang juga bergenre sama, yakni pengganti yang makan dan tidur di Istana juga.

Muncullah nama Airlangga Hartarto. Benar saja. Beliau sekaligus salah satu menteri dalam kabinet Jokowi alias satu kakinya sudah di Istana.

Dengan begitu, Beringin nampaknya akan tetap di Istana. Artinya, beringin jaman old, beringin jaman now, adalah Beringin yang sama.

Bukankah itu layak disebut sebuah konsistensi. Dalam konteks terbatas, jawabannya iya. Dan kembali lagi ke logika awal, cukup dipahami saja. Itu lah jalan terbaik bagi rakyat Indonesia.

Karena betah di kasur kekuasaan, Beringin tahun 2019 tak mau lagi salah perahu. Nahkoda baru bernama Airlangga Hartarto itu mantap mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Di mata Partai Golkar, Prabowo tak semenarik tahun 2014 lagi, karena lima tahun beroposisi. Peluang berkuasanya pasti kian tipis.

Kali ini, Beringin tak salah berdiri. Jokowi bertahan di Istana. Jusuf Kalla keluar, Ma’ruf Amin masuk. Dan sebagaimana seharusnya, Partai Golkar bertahan memeluk bantal kasur Istana.

Tapi Golkar tak lagi sendiri. Ada Prabowo dan Gerindra yang sudah bosan jadi oposisi. Prabowo kemudian masuk kabinet dan didapuk menjadi Menteri Pertahanan.

Dan menjelang pemilihan tahun 2024, Beringin mulai membuat gerakan. Beringin adalah partai pertama yang membentuk koalisi, bernama Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB.

Anggotanya adalah Beringin, Matahari, dan Partai bersimbol Ka’bah. Tak ada tokoh yang layak dijual untuk menjadi capres di dalamnya, termasuk sang ketua umum Beringin sendiri.

Karena fakta tersebut, sudah bisa ditebak bahwa KIB memang tak seserius sesumbarnya. Nama Airlangga yang dijual terus-menerus sebagai capres nyatanya tak pernah dibeli publik.

Sehingga KIB tak lebih dari sekadar koalisi minum kopi, bertukar ide dan masukan, agar Koalisi semakin molek dan bisa dijual kepada jejaring elite ekonomi politik, bukan kepada rakyat.

Hal itu terbukti setelah PDIP mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden resmi PDIP. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) langsung banting stir berubah pikiran. Tanpa aba-aba, PPP melabuhkan dukungannya kepada Ganjar Pranowo dan berkoalisi dengan PDIP.

Otomatis, anggota koalisi KIB hanya tersisa dua partai dengan persentase kepemilikan kursi di DPR kurang dari 20 persen. Mau tak mau, secara de facto KIB sudah tidak layak lagi mengusung pasangan capres dan cawapres, karena tak memenuhi syarat lagi.

Di tengah dinamika politik yang menimpa KIB tersebut, Partai Golkar dan Airlangga terus melakukan improvisasi politik dengan agenda menjual namanya sebagai bakal calon wakil presiden, baik kepada Prabowo Subianto maupun kepada Ganjar Pranowo, meskipun secara formal Partai Golkar masih tetap bersikeras bahwa Airlangga adalah bakal calon presiden partai, bukan bakal calon wakil presiden.

Luhut Binsar Panjaitan (LBP) mengistilahkan manuver Airlangga tersebut dengan istilah "shopping around".

Tak berselang lama, nama Airlangga muncul sebagai saksi yang dipanggil oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi ekspor CPO. Airlangga tercatat dua kali dipanggil dan mendatangi Kejaksaan Agung.

Sejalan dengan itu, kader muda Partai Golkar yang belum lama didapuk oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, juga terseret kasus lain di Kejaksaan Agung.

Namanya muncul sebagai sosok yang diduga menjadi penerima uang suap sebesar Rp 27 miliar untuk melicinkan kasus BTS di Kejagung.

Dari sisi politik, muncul wacana Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) di internal Partai Golkar yang arahnya tak lain adalah untuk menggeser Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai.

Dua nama yang santer melekat dengan wacana Munaslub Golkar tersebut adalah Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia.

Dan semua tekanan tersebut, baik dari sisi hukum maupun politik, terhenti seketika setelah Partai Golkar secara dadakan berhenti "shopping around" dan bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) melabuhkan dukungan politik resmi kepada kubu Prabowo Subianto.

Aksi wara-wiri Partai Golkar sebelum merapat ke Prabowo sebenarnya bukanlah untuk tujuan kepentingan rakyat pemilihnya, tapi untuk mencari celah agar Airlangga sebagai ketua umum bisa mendapatkan tempat yang proporsional di kubu yang ia dekati, yakni bakal calon wakil presiden.

Jadi Airlangga sebenarnya memainkan watak Golkar sebagaimana mestinya, yakni mencoba menemukan segala celah yang mungkin untuk dimasuki agar bisa tetap menjadi bagian penting di dalam kekuasaan.

Jika celah untuk menjadi bakal calon wakil presiden itu tak ditemukan, maka Partai Golkar akan berusaha berada di pihak yang dianggap didukung oleh kekuasaan.

Dalam konteks politik elektoral, itulah yang dilakukan oleh Partai Golkar dengan merapat secara tiba-tiba ke kubu Prabowo.

Apalagi sebelumnya ada beberapa masalah yang sedang meyelimuti Airlangga dan Kader Mudanya. Sudah bisa dipastikan Airlangga dan Golkar akan memilih menyelamatkan diri dan partainya di satu sisi dan memastikan tempat berlabuhnya adalah tempat yang didukung oleh pusat kekuasaan yang sedang berkuasa di sisi lain.

Pendeknya, memandang Partai Golkar harus dengan kacamata kekuasaan. Bukankah selama ini semua gerak-gerik politik Partai Beringin adalah gerak-gerik berlatar dahaga atas kuasa dan kegenitan untuk selalu dekat dengan Istana, terlepas siapapun yang ada di Istana? Silahkan publik yang menilai sendiri saja.

Memakai bahasa anak gaul kekinian, Golkar adalah partai yang selalu dan tanpa malu-malu memperlihatkan tabiat "bucin" pada kekuasaan dan tak pernah berhasrat untuk berada jauh dari Istana.

Sebuah tabiat politik yang mudah diendus dan dideteksi sedari awal, tapi sulit untuk dimaklumi di era demokrasi saat ini, baik secara moralitas politik maupun secara etika demokrasi.

Ya, begitulah Golkar. Jika Prabowo-Gibran kalah, hampir bisa dipastikan Golkar akan seperti tahun 2014, kemungkinan balik arah dan berlari sekencang-kencangnya ke Istana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com