Toh hari ini terlihat semuanya sederhana saja. Mereka berteman, mereka terkadang saling menggunjingkan layaknya Anda menggunjingkan tetangga atau mantan sahabat yang sudah jarang bertegur sapa. Itu biasa saja. Itulah hidup. Dan itulah politik sevulgar-vulgarnya politik.
Kuncinya, pahami saja layaknya mereka saling memahami. Bukankah keharmonisan itu bermula dari kesalingpahaman, lalu saling memberi dan menerima, saling menghormati dan memberi respons positif.
Jika perlu saling bertukar nomor rekening. Itulah nilai-nilai ketimuran yang sudah membesarkan kita.
Dan mereka sedang menerapkan itu, lalu mengapa harus dipersoalkan. Mereka memainkan kartu yang seharusnya dimainkan. Itulah mengapa harus dipahami dengan seluruh jiwa dan raga kita sebagai rakyat, yaitu "Mereka adalah Politisi, bukan gembel".
Goyangan beringin bukan karena urusan konstelasi politik Istana yang belum permanen. Istana tak perlu takut beringin akan roboh ke halaman tetangga.
Beringin adalah partai yang sedari mulai ngantuk, lalu bangun, makan, minum, mandi, sampai ngantuk lagi, memang sudah terbiasa di Istana.
Dan selain itu, konstelasi politik Istana sedari dulu memang tak pernah permanen, sudah biasa pasang surut dan jatuh bangun, terutama sejak reformasi bermula.
Jadi badai di beringin hanya urusan saling memahami. Istana paham, Golkar pun paham, sehingga mau tak mau Gerindra dan PDIP pun harus pula paham, PKS dan PAN plus PKB pun demikian. Itu saja.
Nah, dengan asas terserah tadi, jika Istana yang secara konstelatif disokong oleh PDIP lalu kemudian tertimpa Golkar dan mendadak bertampang gondrong karena kepala banteng harus ditiban pohon beringin yang rindang, itupun tak perlu dipandang sebagai sesuatu yang lucu.
Itu biasa saja, tak perlu memakai teori-teori dari sekolah penata rambut (school of Hairdressing) bahwa itu penampakan yang buruk, mereka tak akan paham.
Besar kemungkinan tidak ada yang lulusan sekolah penata rambut di dalam partai, jadi tak akan ada yang mengamini bahwa itu adalah penampilan buruk. Gondrong atau Mohawk, spike atau cepak, tak penting bagi politisi partai. Dan lagi-lagi pahami saja. Itu kuncinya.
Dan Beringin yang meniban kepala banteng kemudian bergoyang diterpa angin, kadang ada kutu, lalu ganti gaya, ganti penata rambut, itu pun biasa saja.
Pascapilpres 2014, ‘angin sepoi’ berupa rekaman terlarang terkait Freeport milik si papa atau hujan badai bernama dosa kasus E-KTP, pada ujungnya hanyalah buah dari kesalingpahaman antara sesama teman.
Karena teman paham kekuatan temannya, kadang iseng ingin mencoba untuk mengujinya. Kalau kalah, itupun kalah oleh teman sendiri, teman sesama politisi.
Rakyat pun tidak akan untung, pedagang kaki lima tak akan bertambah omzetnya, nelayan tak akan sekonyong-konyong lunas kredit kapal mungilnya, petani tak akan mendadak lepas dari lilitan utang pengijon, dan lain-lain.
Toh awal reformasi, kepala beringin pun tersangkut kasus, bolak balik mendatangi pengadilan ikut persidangan. Tapi untung lolos dari jerat hukum, kemudian menang di Pileg 1999. Itu lah Beringin.
Saat Wapres JK yang pendamping SBY mendadak mengusai Beringin setelah menduduki kursi kekuasaan sebagai pendamping SBY, Beringin sempat sedikit konsisten dalam gaya rambut karena jarang diterpa angin kencang.
Lalu saat estafet berpindah ke ARB, situasipun hampir serupa. Sang presiden dan ARB ketika itu saling memahami, sampai-sampai kasus Lumpur Lapindo pun jadi urusan negara.
Angin datang lagi saat Jokowi dan JK mulai mengetuk pintu Istana. Kongres Bali mendapat saingan di Ancol. ARB versus Agung Laksono, begitu judulnya saat itu. Negosiasi berlangsung alot, baik dari sisi Agung maupun ARB.
Lalu angin Papa minta saham menerpa. Dalam pemberitaan papa dituding meminta saham Freeport. Goyangan Beringin semakin hot. Papa lengser di DPR. Ade Komarudin alias Akom ambil panggung, jadi Ketua DPR.
Tapi papa bukan anak kemarin sore. Pada tataran tertentu, papa menikmati goyangan layaknya penyanyi dangdut. Beliau makin hot.
Dengan goyangan lainnya, papa berhasil menjadi pemegang estafet ARB di Beringin, dengan lawan Ade Komarudin. Posisi berganti. Papa kembali ke singgasana ketua DPR. Akom pun balik kandang.
Tak berselang terlalu lama, peluru dari KPK datang tiba-tiba. Merek pelurunya adalah E-KTP. Papa terbangun dari keterlenaan. Status tersangka jilid satu dikalungkan di lehernya. Papa kembali bergoyang, malah semakin hot.
Walhasil, di praperadilan, kalung tersangka lepas. Papa senyum simpul. Tapi E-KTP bukan satu peluru, KPK kembali memasangkan kalung dengan liontin tersangka jilid dua.
Karena terlalu banyak bergoyang, papa merasa terlalu panas. Papa mulai berkeringat, energi untuk bergoyang mulai habis, maklum, faktor umur.
Melihat papa berkeringat, sang supir mulai grogi. Tiang listrik mendadak jadi pelampiasan. Hidung Fortuner milik papa penyok, tiang listrik tak bergeming. Kali ini sejarah berbalik. Papa ternyata tak sehebat itu.
Kelemahannya salah satunya adalah tiang listrik. Hal itu terbukti dari duel tersebut. Tiang listrik membuat papa masuk rumah sakit, dengan benjol sebesar bapao, kata pengacaranya kala itu.
KPK makin semangat melihat hasil pertahanan tiang listrik. Masa kalah sama tiang listrik yang ternyata mampu mengirim papa ke rumah sakit, mengapa KPK tidak. KPK dengan semangat 45 akhirnya menambahkan kalung tersangka dengan baju orange.
Papa untuk sementara terkunci. KPK untuk sementara pula boleh tersenyum. Tapi apakah cerita selesai? Biarlah jadi urusan papa dan KPK. Karena papa sudah tak berbaju kuning lagi (tapi orange), dinamika di dalam Beringin mulai ikut panas. Papa akan digantikan.
Tapi gelagat masih sama. Pengganti yang berpotensi adalah pengganti yang juga bergenre sama, yakni pengganti yang makan dan tidur di Istana juga.
Muncullah nama Airlangga Hartarto. Benar saja. Beliau sekaligus salah satu menteri dalam kabinet Jokowi alias satu kakinya sudah di Istana.