Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemikir Kebinekaan: Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres Stempel pada Kekuasaan yang Pongah

Kompas.com - 26/10/2023, 10:14 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemikir kebinekaan, Sukidi, menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia capres-cawapres bukan sekadar merembet pada dugaan konflik kepentingan dan dinasti politik keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Namun, perlu dibaca pula sebagai suatu kondisi saat MK berada pada satu titik nadir yang buruk bagi kebangsaan.

Adapun putusan MK yang dimaksud merupakan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
MK menambahkan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dalam putusan ini.

Berdasarkan putusan itu, calon presiden dan wakil presiden boleh di bawah 40 tahun asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan publik yang dipilh melalui pemilu. 

"Karena ini tentu saja bukan sekadar konflik kepentingan, tapi harus dibaca sebagai satu stempel pada kekuasaan yang pongah," kata Sukidi dalam acara Satu Meja The Forum yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (25/10/2023) malam.

Sukidi juga berpandangan, putusan MK itu bisa dimaknai adanya hasrat untuk berkuasa yang ditempuh melalui jalan pintas.

Jika demikian, menurut dia, hasil putusan MK tidak sesuai dengan spirit anak muda.

Baca juga: Hakim Arief Hidayat: Saya Sedang Berkabung, di MK Baru Saja Terjadi Prahara

Sebab, menurut dia, anak muda memiliki semangat cinta pada nilai dan idealisme, bukan jalan pintas.

"Sehingga ini mengandung kontradiksi pada dirinya sendiri, pada anak muda, cinta pada idealisme, tetapi jalan yang ditempuh adalah jalan pintas," ujar dia. 

Sukidi juga menyebut bahwa saat ini masyarakat dipertontonkan pertunjukan politik yang berorientasi pada kekuasaan as it is.

Para penguasa yang mempraktikkan hal tersebut, menurut dia, abai pada etika.

"Bukan selamat datang pada politik dinasti, tapi selamat datang pada politik machiavelli. Ini adalah pertunjukan satu politik yang machiavellian yang selalu berorientasi pada kekuasaan as it is, memperlakukan kekuasaan semata mata sebagai satu medan pertempuran untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan," tutur dia.

"Kekuasaan itu dipisahkan dari etika moral dan nilai luhur bangsa ini," pungkas dia.

Baca juga: Jerry Sambuaga Ungkap Proses Pengusungan Gibran Jadi Cawapres Dilakukan Sebelum Putusan MK

Keluarga Presiden Jokowi dikritik sejumlah pihak karena dianggap melanggengkan dinasti politik.

Ini terkait dengan pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. 

Gibran melaju sebagai cawapres setelah MK mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres.

Putusan MK ini dinilai sarat konflik kepentingan mengingat Ketua MK Anwar Usman yang juga ipar Jokowi terlibat di dalamnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com