Namun penulis mengerti. Rasanya, PSI mengalami personalisme karena menjadikan Jokowi sebagai patron tanpa reserve.
Personalisme ini menjadi gejala di banyak negara demokrasi (Kendall-Taylor, 2017). Ciri utamanya, konsentrasi kekuasaan ada pada pemimpin; pengaruh dan kemandirian partai politik berkurang karena aktor-aktornya berkiblat pada pribadi pemimpin.
Selain itu, arah dan praktik politik merefleksikan preferensi pemimpin dari pada proses negosiasi, kontestasi dan kompromi politik aktor-aktornya.
Menurut Wright (2021), personalisme ini adalah erosi demokrasi dan menghasilkan polarisasi politik sebab arah dan praktik politik bertumpu pada pribadi penguasa, bukan pada nilai, sistem atau struktur demokrasi.
Sejatinya, PSI tepat merumuskan nilai kepemimpinan Jokowi sebagai Jokowisme. Sayang mereka mengartikulasikannya secara keliru.
Alih-alih menjadikan nilai kepemimpinan Jokowi sebagai nilai partai, mereka jatuh pada personalisme Jokowi: menjadikan Jokowi sebagai aku ("Jokowi is me").
Di negara demokrasi, personalisme ada salah satu tanda utama pembusukan politik. Sedihnya, pembusukan tersebut semakin kentara belakangan ini dengan akrobat politik Mahkamah Konstitusi, lalu dilanjutkan dengan skenario yang belakangan ini semakin jelas: Gibran Rakabuming masuk dalam gelanggang kontestasi pilpres 2024.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.