Yang juga menarik, masih banyak warga yang meminta caleg untuk bisa menyelesaikan semua masalah, bahkan di luar tupoksinya seperti membantu pengurusan KTP. Sikap warga seperti ini terkesan asal eksploitasi, asal minta harapan.
Pada sistem demokrasi, warga seharusnya meminta dan berharap janji yang sesuai dengan tupoksi dan ruang lingkup wewenang dari jabatan yang akan dituju oleh kandidat (legislatif/eksekutif).
Tak cukup hanya itu, warga perlu mengkaji sejauh mana janjinya itu relevan dan terukur untuk bisa direalisasikan.
Itu artinya, pada setiap momen pemilu, yang seharusnya terjadi adalah pertukaran gagasan dan agenda kerja yang masuk akal dan relevan antara kandidat dengan warga.
Hanya saja, kerap kali bukan pertukaran gagasan yang terjadi, sebaliknya pertukaran material dan janji sesat dengan suara dukungan.
Warga memberikan suara karena dijebak janji sesat kandidat dan atau buruknya dukungan diberikan karena adanya pertukaran material.
Mengacu pada Aspinall dan Berenscot (Democracy for Sale, 2020), fenomena transaksi pertukaran material dengan suara ini disebut patronase, yakni mempertukarkan materi (yang dilakukan oleh kandidat) dengan maksud mendapat dukungan politik (dari warga).
Materi bisa berupa uang dan juga peluang ke depan. Misalnya, sumbangan pribadi untuk rumah ibadah, janji diberikan proyek, bantuan kerja, dan lainnya.
Aktor utamanya ada dua, yakni kandidat dan warga. Keduanya melihat politik untuk kepentingan komersial semata.
Praktik busuk itu membuat politik kita kehilangan marwahnya: untuk kesejahteraan publik. Padahal, bila masih berpengharapan pada kesejahteraan publik, proses cacat demokrasi ini harus disudahi.
Sebagai subjek dalam demokrasi, kita perlu kebudayaan politik warga (civic culture) yang baru, yang menjauhkan kita dari praktik buruk tersebut.
Warga mengubah orientasi politiknya dari suka berharap secara keliru—apalagi menjual suara kepada kandidat—ke arah penagih janji (agenda kerja) sesuai tupoksi dan ruang lingkup wewenang suatu jabatan publik yang hendak dituju oleh seorang kandidat.
Guna membangun kehidupan sosial-politik yang berkualitas, kita perlu fondasi pembangunan. Sosiolog Paulus Wirutomo menawarkan bahwa fondasi itu adalah konsep pembangunan societal.
Mengacu pada Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Societal (2022), sebenarnya kita bisa menciptakan kultur baru praktik politik di level mikro (warga dan kandidat) untuk kemudian diproses menjadi struktur kebudayaan politik.
Menurut Paulus, secara sosiologis, masyarakat terbentuk oleh tiga aspek utama dan berhubungan secara berkesinambungan serta berulang, disebutnya struktur, kultur, dan proses (SKP).