Narasi kemarahan yang disampaikan oleh kaum penduga merupakan problem komunikasi politik aktual kita.
Betapa tidak narasi yang tercipta tidak hanya belum bisa dibuktikan kebenarannya, tapi sedang dipaksakan bahwa narasi itu benar.
Di sisi lain, bahwa memang ada niatan mulia dibalik narasi kemarahan yang ada, seperti misalnya menegakan kewibawaan MK, menjaga mutu demokrasi, menghindarkan adanya kemungkinan abuse of power, memperjuangkan keadilan, kesetaraan, serta lainnya.
Namun, narasi kemarahan sangat tidak bisa dipisahkan dari situasi politik kandidasi yang makin mendekati hari H.
Artinya, ada aktor-aktor politik yang sedang memancing di air keruh guna mendapatkan keuntungan, terutama insentif elektoral.
Lawan-lawan politik Jokowi dan Gibran atau pihak oposisi sedang mengupayakan peruntungan mereka melalui peristiwa politik ini.
Narasi kemarahan sengaja diproduksi, direproduksi, dan bahkan didistribusikan secara lebih luas untuk kepentingan politik mereka. Dan itu adalah fakta politik yang kerap terjadi, bahkan cenderung ternormalisasi.
Sebagaimana disampaikan oleh Walter R Fisher (1987) melalui teori yang disebutnya Paradigma Naratif, manusia adalah homo narans (makhluk naratif).
Pada posisinya tersebut, manusia lebih meyakini atau terbujuk oleh cerita (narasi) yang bagus ketimbang suatu argumentasi yang logis.
Saya melihat, kaum penduga sedang menyusun cerita yang bagus untuk disuguhkan kepada masyarakat yang kemudian sengaja dipaksakan sebagai kebenaran.
Fisher menyebut kegiatan komunikasi dalam wujud demikian sebagai retorika manipulative, yaitu bahwa komunikasi menjadi alat untuk mencapai tujuan komunikator dengan cara “mempermainkan” perasaan dan emosi komunikan (baca: publik).
Pada akhirnya, lanjut Fisher, narasi dapat diterima kebenaranya harus mengandung apa yang disebutnya sebagai “logika alasan yang baik” (the logic of good reasons); bahwa narasi itu tidak hanya tersusun dari fakta-fakta yang mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi juga harus disampaikan oleh orang baik.
Tentu saja, saya tidak sedang menuduh bahwa mereka yang hari ini “menyerang” Jokowi dan Gibran melalui narasi kemarahan, sebagai orang yang tidak baik.
Namun, sulit bagi saya juga untuk menerima mereka yang pendapatnya didasarkan pada dugan-dugaan (dan kemudian diklaim sebagai kebenaran), sebagai orang yang baik.
Pada konteks demikian, tulisan ini hanya bermaksud untuk mengajak semua pihak agar objektif dan fair melakukan penilaian.
Pada akhirnya, mari kita sama-sama mengkiritik Jokowi dan Gibran dengan mendasarkan argumentasi kita pada data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.