Mahkamah lantas menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
RPH kedua itu dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, tak terkecuali Anwar Usman.
Dalam RPH kedua itu beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Baca juga: Tanggapi Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres, Emil Dardak: Kita Hormati
Kejanggalan lain dalam proses pembahasan perkara itu juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Arief dalam dissenting opinion menyatakan, dia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.
"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion.
Keganjilan pertama, adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda. Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.
Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Anwar Usman atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.
Baca juga: Yusril Anggap Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Cacat Hukum Serius
Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 19 September 2023, ketiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir.
"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian". Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.
Di saat kehidupan tengah “susah-susahnya” seperti kehidupan rakyat pada umumnya yang terwakili Udin pemasang gorden, Senin, 16 Oktober 2023 kemarin, kita menyaksikan dagelan “terlucu” sejak republik ini berdiri.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya bertindak sebagai garda penjaga konstitusi bermetamorfosis menjadi “Mahkamah Keluarga”.
Betapa tidak, kesakralan MK ternodai dengan lolosnya permohonan mahasiswa asal Solo sehingga frasa “berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum”.
Dengan menggunakan logika yang sederhana dan lupakan dengan kalimat yang “berbunga-bunga” bahwa permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberi jalan kepemimpinan anak muda, manipulasi hukum melalui MK tersebut semuanya ditujukan untuk kepentingan politik.