MUNCULNYA pejabat atau calon pejabat tinggi negara yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat politik saat ini maupun sebelumnya mengindikasikan ketidaksetaraan yang semakin meningkat dalam akses ke kekuasaan dan pengaruh politik. Hal ini dapat berdampak pada ketahanan dan prevalensi kesenjangan sosial dan ekonomi.
Tingkah laku berpolitik yang minim moral, etika, dan empati akan semakin menjauhkan demokrasi dari cita-cita utamanya, membawa kesejahteraan bagi umat manusia (Nurhasim, 2019).
Sampai kapan budaya politik kita terjerembap dalam kubangan budaya patrimonial dan berubah ke arah budaya demokrasi yang berpijak pada kompetisi yang adil, jujur, penuh damai, dan mencerminkan integritas?
Sepanjang sejarah, banyak politisi yang telah mengambil alih tampuk kekuasaan dari anggota keluarganya (terutama dari garis ayah atau suami), sehingga beberapa keluarga mendominasi puncak kekuasaan di banyak negara demokrasi.
Sejumlah contoh mencakup mantan Presiden Cristina Fernández de Kirchner yang merupakan istri dari mantan Presiden Nestor Kirchner di Argentina, mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra yang merupakan saudara dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra di Thailand.
Mantan Presiden George W Bush yang merupakan anak dari mantan Presiden George HW Bush di Amerika Serikat, mantan Perdana Menteri Najib Razak yang merupakan anak dari mantan Perdana Menteri Abdul Razak di Malaysia.
Mantan Presiden (sekarang Wakil Ketua Kongres) Gloria Macapagal-Arroyo yang merupakan putri dari mantan Presiden Diosdado Macapagal di Filipina.
Mantan Presiden Filipina, Benigno 'Noynoy' Aquino III adalah keturunan dari keluarga Aquino. Ibunya adalah mantan Presiden yang sangat populer, Corazon Aquino, dan ayahnya adalah mantan Senator Benigno 'Ninoy' Aquino, Jr.
Di Indonesia? Tanpa menyebut nama, jelas sangat mudah melacak pertalian keluarga dalam jabatan politik. Semua tersebar di semua lini kekuasaan, mulai dari daerah hingga ke pusat.
Hal ini mencerminkan tren keturunan politik yang dapat memengaruhi dinamika politik dan pemerintahan dalam beberapa negara demokrasi.
Banyak pemimpin lainnya tampaknya telah 'dipersiapkan' untuk menduduki posisi kepemimpinan tertinggi di negara mereka.
Tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memungkinkan seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
Tentu saja kita tahu, ini merupakan syarat khusus yang cukup sulit untuk dipenuhi pemuda yang tidak memiliki relasi politik yang cukup kuat. Syarat istimewa ini tentu sangat politis dan ekslusif.
Pemuda yang tidak punya cukup modal finansial dan modal politik tentu hanya bisa gigit jari, meskipun kita tahu jika diberi kesempatan mereka juga bisa berkontribusi pada bangsa dan negara.
Dalam sejarah, proses mempersipakan penerus kekuasaan tampaknya sudah lumrah. Dulu pernah ada Rajiv Gandhi, putra mantan Perdana Menteri India, Indira Gandhi, yang juga merupakan putri dari Perdana Menteri India pertama, Jawaharlal Nehru.
Lainnya adalah Aung San Suu Kyi, penerima Nobel yang sekarang mencalonkan diri untuk Parlemen di Myanmar. Ia adalah putri dari Aung San, yang oleh banyak orang dianggap sebagai bapak pendiri the Union of Burma.
Hal ini menunjukkan pola kepemimpinan turun-temurun yang dapat memengaruhi politik dan pemerintahan di beberapa negara.
Dalam berbagai tingkat, dinasti politik dapat ada dalam setiap demokrasi, tanpa memandang struktur, sejarah, atau tingkat perkembangan ekonomi negara tersebut.
Legislator dan anggota parlemen dengan hubungan dinastik bervariasi mulai dari sekitar 6 persen di Amerika Serikat hingga sebanyak 37-40 persen di Filipina dan Meksiko.
Dalam kasus Filipina, jika kita juga mempertimbangkan hubungan keluarga dengan unit pemerintahan lokal, angka ini mencapai 70 persen yang belum apa-apa bila dibandingkan dengan negara lainnya.
Sekitar 80 persen dari legislator termuda di Filipina juga berasal dari keluarga politik dinastik.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik keluarga politik yang berkuasa dapat memiliki kehadiran yang signifikan di berbagai negara demokrasi, dengan tingkat variabilitas signifikan (Mendoza, 2012).
Namun, dinasti politik di berbagai negara demokrasi sangat variatif. Selama periode antara tahun 1996 dan 2007, lebih dari 90 persen politisi Jepang adalah laki-laki dan sekitar 30 persen dari parlemen Jepang berasal dari dinasti politik.
Putri cenderung tidak menjadi bagian dari dinasti politik di negara tersebut, karena kekuasaan seringkali diwariskan kepada putra-putra mereka.
Studi pernah mencatat bahwa dari lebih dari 120 politisi Jepang yang dianggap sebagai dinasti, hanya tiga di antaranya adalah perempuan (Asako et al 2010).
Di sisi lain, satu studi tentang dinasti politik di Kongres AS menunjukkan bagaimana dinasti politik membantu meningkatkan keseimbangan gender di Kongres AS dengan memungkinkan lebih banyak legislator perempuan masuk melalui ikatan keluarga mereka (Dal Bo et al 2009).
Ini menggambarkan perbedaan signifikan dalam bagaimana dinasti politik memengaruhi keseimbangan gender dan struktur kekuasaan di berbagai negara demokrasi.
Kita kembali ke Asia Tenggara, adalah mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew dari Singapura menjabat selama lebih dari tiga dekade dan tetap menjadi Perdana Menteri terlama di dunia.
Banyak orang yang tidak terkejut ketika putra sulungnya, Lee Hsien Loong, akhirnya mengikuti jejak ayahnya dan mengambil alih tampuk kekuasaan pada 2004.
Banyak juga yang mengakui dinasti Lee berperan dalam menjaga proses reformasi dan pembangunan berkelanjutan, yang memungkinkan Singapura mencapai status negara maju saat ini.
Beberapa analis bahkan mengakui bahwa kinerja seorang pejabat pemerintah dipengaruhi oleh keamanan dan lamanya masa jabatannya.
Teori terkenal yang dikemukakan oleh Mancur Olson menyiratkan bahwa pemimpin yang kurang baik dengan pegangan kuat pada kekuasaan dapat berperilaku seperti istilah stationary bandits (bandit yang tidak bergerak), mendapatkan manfaat dari posisinya tetapi tetap memastikan pertumbuhan dan pembangunan berlangsung agar mereka tetap mengamankan kekuasaan mereka.
Pandangan yang lebih pesimistis menyimpulkan bahwa pemimpin yang kurang baik dan kurang berprinsip akan beralih ke pemerasan massal dan merusak jika mereka memiliki waktu berkuasa yang singkat.
Dalam konteks ini, dinasti politik seperti dinasti Lee di Singapura dan kestabilan dalam jabatan pemerintah dianggap sebagai faktor penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan.
Ini juga menggambarkan peran pemimpin dalam memastikan stabilitas dan kemajuan negara, baik secara positif maupun negatif, tergantung pada etika dan tujuan mereka.
Memang benar bahwa ada sedikit bukti yang dapat membantah salah satu pandangan tersebut.
Sementara Lee Kuan Yew dan keluarganya memimpin pembangunan cepat dan industrialisasi Singapura, pemimpin lain dengan masa jabatan panjang yang serupa tidak selalu bersikap sebaik itu.
Contohnya termasuk Ferdinand Marcos, yang pernah menjabat sebagai Presiden Filipina lebih dari 20 tahun dengan tingkat kemiskinan hampir dua kali lipat dibanding sebelum ia menjabat.
Selain itu, ada juga Dinasti Duvallier di Haiti, termasuk Papa Doc (ayah yang menjabat sebagai Presiden dari 1957–1971) dan Baby Doc (anak yang menjabat sebagai Presiden dari 1971–1986), yang terkenal dengan pemerintahan yang boros di Amerika Latin kala itu dan menyisakan segudang masalah defisit anggaran yang tidak produktif.
Ini menunjukkan bahwa panjangnya masa kekuasaan (turun temurun) tidak selalu menjadi jaminan bagi keberhasilan atau kebaikan dalam pembangunan negara.
Terdapat contoh di mana pemimpin dengan masa jabatan panjang memimpin negara mereka menuju kemajuan dan contoh di mana pemimpin dengan masa jabatan panjang justru merugikan negara mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor lain, seperti etika kepemimpinan dan tindakan konkret, juga sangat berperan dalam akhir dari hasil pemerintahan pemimpin yang bersangkutan.
Studi empiris yang pernah dilakukan Mendoza (2012) pada dinasti politik di Dewan Perwakilan Rakyat Filipina ke-15 selama periode 2003–2007, menyimpulkan bahwa sekitar 80 persen legislator dinasti mengalami peningkatan nilai kekayaan bersih yang cukup signifikan.
Sebagian besar, bahkan berhasil melebihi pertumbuhan aset mereka daripada jika mereka berinvestasi di Bursa Efek Filipina.
Dinasti politik di Kongres Filipina juga cenderung mendominasi partai politik utama, mencakup sekitar 60–80 persen dari masing-masing partai politik utama.
Hal ini menunjukkan bahwa dinasti politik juga memiliki pengaruh besar dalam peningkatan kekayaan pribadi mereka. Ini tentu menimbulkan kekhawatiran tentang ketidaksetaraan politik dan sosial, serta dampaknya terhadap kemiskinan.
Dinasti politik yang kuat di negara ini dapat menghambat akses dan kesempatan politik bagi warga biasa, menjadi tantangan serius dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan dan kemiskinan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa dinasti politik banyak terdapat di daerah dengan tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang diwakili oleh legislator non-dinasti.
Meskipun ini tidak bisa disimpulkan sebab-akibat dinasti politik dan kemiskinan, apakah rakyat terus secara sukarela memilih dinasti politik, meskipun dinasti terus menghambat upaya pengurangan kemiskinan, tentu tidak bisa tergambar secara langsung.
Namun, situasi ini menciptakan ketidakpastian tentang bagaimana demokrasi dan pembangunan dapat berjalan beriringan di negara-negara dengan dinasti politik yang cukup kuat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.