Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Siasat Anwar Usman Ubah Putusan MK 180 Derajat Diungkap...

Kompas.com - 17/10/2023, 05:20 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengejutkan.

Putusan itu dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Dalam amar putusan itu disebutkan, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.

Dalam amar putusan itu juga disampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yakni Saldi Isra dan Arief Hidayat.

Saldi mengatakan, dia tidak setuju MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Baca juga: MK Kabulkan Gugatan Mahasiswa soal Usia Capres-Cawapres, BEM SI: Masalahnya Bukan Siapa yang Menggugat

Saldi lantas mengungkap terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dari belasan perkara itu, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.

Untuk memutus tiga perkara tersebut, MK lantas menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023.

Pada saat itu terdapat delapan hakim konstitusi yang hadir dalam RPH, yaitu Saldi, Arief, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

Dalam RPH pada 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman justru tidak hadir.

Baca juga: Tanggapan Megawati Usai MK Putuskan soal Syarat Usia Capres-Cawapres

Hasil RPH menyatakan bahwa enam hakim konstitusi MK sepakat menolak permohonan pemohon.

Sebanyak 6 hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.

Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.

Mahkamah lantas menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

RPH kedua itu dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, tak terkecuali Anwar Usman.

Baca juga: PDI-P Tanggapi Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres: Harusnya Jadi Benteng Demokrasi

Dalam RPH kedua itu beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ujar Saldi saat membacakan dissenting opinion dalam amar putusan.

Dari lima hakim konstitusi yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim membuat syarat alternatif bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.

Sementara, dua hakim konstitusi lain yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan, membuat alternatif aturan bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur.

Perubahan sikap sejawatnya itu membuat Saldi bertanya-tanya. Menurut dia, seandainya RPH yang digelar untuk memutus Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak.

Baca juga: BEM SI Sebut MK Inkonsisten dan Politis karena Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Sebaliknya, jika RPH memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi hakim dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan hakim tanpa dihadiri hakim Anwar Usman, apakah putusan akan tetap sama atau berbeda.

“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” tutur hakim Saldi.

 

Mengusik hati nurani

Kejanggalan lain dalam proses pembahasan perkara itu juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Arief dalam dissenting opinion menyatakan, dia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.

"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion.

Keganjilan pertama, adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.

Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.

Baca juga: Megawati Pilih Resmikan Kantor Partai hingga Jalan di Tengah Hiruk Pikuk MK Putuskan Gugatan Usia Capres-Cawapres

Dia mengatakan, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.

"Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied). Terlebih hal in merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK," ucap Arief.

Arief lantas mengusulkan supaya MK menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.

Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.

"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.

Baca juga: Rangkuman Sidang Putusan MK soal 7 Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Anwar Usman atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.

Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 19 September 2023, ketiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir.

Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.

Saldi Isra lantas menyatakan, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres, di mana keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.

Diketahui, Anwar merupakan suami dari Idayati, adik kandung Presiden Joko Widodo, ayah Gibran.

Baca juga: KPU Sesuaikan Aturan Batas Minimal Usia Capres-Cawapres dengan Putusan MK

Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Ketua MK hadir.

"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian". Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.

(Penulis: Fika Nurul Ulya, Vitorio Mantalean, Editor: Dani Prabowo, Fitria Chusna Farisa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Nasional
KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com