Perubahan peta koalisi pun kemungkinan masih terbuka, mengingat setiap parpol berupaya mendapatkan oportunitas politik yang terbaik.
Apalagi baru bakal capres Anies Baswedan yang telah mendeklarasikan pasangannya, yakni Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.
Dinamika persaingan tak lagi sebatas pada perubahan konfigurasi penguasaan dukungan pemilih sebagai hasil kerja politik masing-masing parpol.
Namun, sosok Jokowi turut pula mewarnai persaingan. Jokowi berpotensi memengaruhi peluang perluasan dukungan publik.
Hal itu terkonfirmasi pula dari hasil survei Kompas awal Agustus 2023. Sebagian besar masyarakat pemilih (55,1 persen) ternyata belum kokoh atas pilihannya, masih dimungkinkan berubah (swing voter). Kelompok yang sudah memastikan pilihan tak akan berubah (strong voter) kurang dari separuh (44,9 persen).
Baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo, tak lebih separuh pendukung mereka yang strong voter. Selebihnya cenderung masih membuka peluang perubahan (swing voter).
Belum lagi pemilih bimbang (undecided voters) yang masih relatif besar (27,9 persen) menurut survei Kompas. Angka itu masih di atas elektabilitas bakal capres (Ganjar 24,9 persen, Prabowo 24,6 persen, dan Anies 12,7 persen).
Data hasil survei tersebut menguatkan alasan para kandidat capres dan parpol pendukungnya berebut pengaruh Jokowi dan membuat kakek Jan Ethes berada pada pusat pusaran politik.
Posisi Jokowi sebagai pusat pusaran politik ternyata juga berimbas pada putranya. Dua putra kandungnya turut diperbincangkan, diperebutkan, bahkan hadir sebagai “data” yang akan menguji proposisi yang kini berhembus kencang: “Jokowi sedang membangun politik dinasti”.
Putra sulung Jokowi, Gibran, ayah Jan Ethes Srinarendra sedang disorot publik. Wali Kota Solo sejak 26 Februari 2021 itu meniti karier politiknya juga melalui PDI-P.
Sama dengan ayahnya, Gibran tampak sigap membaca dan merespons peta politik yang menempatkan ayahnya pada pusat pusaran.
Sejumlah kalangan yang berkepentingan, termasuk bakal capres Prabowo Subianto, rajin mengunjunginya.
Gibran pun meladeni dengan cara dan gayanya. Bahkan, ia terang-terangan menyatakan dilamar Prabowo sebagai bakal cawapres.
Meski usia ayah Jan Ethes itu belum genap 40 tahun, syarat usia minimum capres dan cawapres menurut undang-undang yang berlaku.
Ide menjadikan Gibran sebagai bakal cawapres sangat jelas ke mana arahnya. Tak lain mengambil efek Jokowi. Tapi, apakah Jokowi juga berkepentingan? Yang pasti, ide tersebut kemudian menghebohkan.
Langkah yang ditempuh lalu terkesan “memaksakan”. Tak ada jalan lain selain mengajukan permohonan perubahan undang-undang yang membatasi syarat usia capres dan cawapres melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak hanya batas usia, pemohon juga menambahkan syarat “pengalaman menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah”. Persaingan politik lapangan bergeser ke dalam ruang sidang MK. Isu politik dibawa ke ranah konstitusionalitas.
Itulah yang membuat sejumlah kalangan melihat secara kritis. Ada gelagat memperalat MK sebagai penopang kepentingan politik praktis kalangan tertentu.
Keluarga Jokowi tak luput dari sasaran kritik keras. Terbentuklah proposisi yang kini berhembus kencang: “Jokowi sedang membangun politik dinasti”. MK dimanfaatkan sebagai instrumen legalisasi politik dinastinya.
Kritik keras itu menilai, permohonan uji materi di MK bukan lagi ditujukan untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga, melainkan diduga kuat dilandasi nafsu kuasa kalangan tertentu, termasuk keluarga Jokowi.
Pandangan kritis itu semakin terdengar nyaring mendekati jadwal pendaftaran capres-cawapres. Koalisi parpol pengusung Prabowo dan kelompok sukarelawan Jokowi semakin koor mengusulkan Gibran menjadi bakal cawapres Prabowo.