Salin Artikel

Trio "Jan Ethes" dan Politik Dinasti

Perkataan, gerak-gerik tubuh, dan tindakan mereka adalah data. Dibaca, ditelaah, diambil simpulan-simpulan.

Lalu, digunakan sebagai dasar pertimbangan putusan-putusan politik sehubungan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Baik oleh bakal capres-cawapres, partai politik (parpol), sukarelawan, kelompok kepentingan lain maupun publik pada umumnya.

Ketiga tokoh itu sungguh cekatan dan sigap membaca konstelasi politik. Boleh jadi saat kanak-kanak seperti sebutan Jawa, “jan ethes” (biasanya dipakai untuk menunjuk tingkah anak yang sangat energik, banyak gerak, cekatan).

Pusat pusaran politik

Jokowi, presiden ke-7 dua periode, kakek Jan Ethes Srinarendra. Sebelumnya adalah wali kota Solo, juga dua periode, dan gubernur DKI.

Jokowi sungguh cekatan, sigap. Bersama PDI-P yang diasuh Megawati Soekarnoputri, karier politiknya melesat. Sulit ditandingi.

Menjelang Pilpres 2024, saat tak bisa lagi ikut kontestasi, kakek Jan Ethes itu menjadi pusat pusaran politik. Baik dari sudut bakal capres-cawapres, parpol, sukarelawan, maupun warga masyarakat pada umumnya. Hal itu tampak dari gejala politik di permukaan dan hasil survei.

Sikap politik sukarelawan Jokowi selalu menunggu arahannya. Dinamika koalisi parpol pun tampak tak bebas dari pengaruhnya. Hingga muncul julukan “Pak Lurah”, meski ditepisnya.

Hasil survei Litbang Kompas awal Agustus 2023, menunjukkan kinerja pemerintahannya diapresiasi positif oleh publik. Kepuasan publik relatif tinggi (74,3 persen).

Sejalan dengan semakin tinggi kepuasan publik atas kinerjanya, semakin besar pula loyalitas publik pada sosok capres yang direstui Jokowi. Dukungan eksplisit kakek Jan Ethes itu kepada sosok capres ditunggu-tunggu publik.

Namun, hingga detik ini, Jokowi belum pernah eksplisit, hanya kode-kode yang multitafsir. Terkadang tafsirnya mendukung Ganjar Pranowo, bakal capres yang diusung PDI-P, PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo.

Terkadang mendukung Prabowo Subianto, bakal capres yang didukung Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PBB, dan belakangan Partai Demokrat.

Atau, Jokowi tak akan eksplisit. Ketidakeksplisitan itu sesungguhnya keeksplisitan bagi Jokowi. Sudah sangat jelas dari mana asal dirinya, parpol apa yang selama ini menaungi dan membesarkannya. Yang tak lain adalah PDI-P.

Sudah sangat jelas pula keputusan PDI-P terhadap siapa bakal capres yang hendak diusung. Sekaligus diharapkan sebagai penerus kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi.

Ganjar mengidentifikasi diri dan diidentifikasi oleh publik sebagai penerus Jokowi dengan tagline “keberlanjutan Indonesia Maju”. Banyak kemiripan dari segi ideologi, kultural, dan gaya komunikasi antara Jokowi dan Ganjar.

Dari sisi logika dan etika politik, Jokowi tentu saja berada pada poros Ganjar. Ia juga menyaksikan langsung saat Ganjar dideklarasikan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Hak politik Jokowi mestinya sudah jelas pada pihak Ganjar. Kurang eksplisit apa lagi?

Namun, keeksplisitan Jokowi rupanya dituntut oleh banyak kalangan. Pasalnya, ada kekuatan politik lain dari dalam pemerintahan Jokowi yang juga berjuang mengunduh efek Jokowi.

Prabowo dan parpol koalisi berupaya keras menarik Jokowi, bahkan juga mengidentifikasi hendak melanjutkan kebijakan dan programnya dengan memberi nama baru koalisinya “Koalisi Indonesia Maju”.

Prabowo juga menggunakan strategi yang lebih progresif dengan meminang Gibran, putra sulung Jokowi, sebagai bakal cawapres. Meski strategi itu mengundang polemik.

Karena itu, dinamika persaingan politik semakin sengit menjelang pendaftaran capres dan cawapres.

Perubahan peta koalisi pun kemungkinan masih terbuka, mengingat setiap parpol berupaya mendapatkan oportunitas politik yang terbaik.

Apalagi baru bakal capres Anies Baswedan yang telah mendeklarasikan pasangannya, yakni Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.

Dinamika persaingan tak lagi sebatas pada perubahan konfigurasi penguasaan dukungan pemilih sebagai hasil kerja politik masing-masing parpol.

Namun, sosok Jokowi turut pula mewarnai persaingan. Jokowi berpotensi memengaruhi peluang perluasan dukungan publik.

Hal itu terkonfirmasi pula dari hasil survei Kompas awal Agustus 2023. Sebagian besar masyarakat pemilih (55,1 persen) ternyata belum kokoh atas pilihannya, masih dimungkinkan berubah (swing voter). Kelompok yang sudah memastikan pilihan tak akan berubah (strong voter) kurang dari separuh (44,9 persen).

Baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo, tak lebih separuh pendukung mereka yang strong voter. Selebihnya cenderung masih membuka peluang perubahan (swing voter).

Belum lagi pemilih bimbang (undecided voters) yang masih relatif besar (27,9 persen) menurut survei Kompas. Angka itu masih di atas elektabilitas bakal capres (Ganjar 24,9 persen, Prabowo 24,6 persen, dan Anies 12,7 persen).

Data hasil survei tersebut menguatkan alasan para kandidat capres dan parpol pendukungnya berebut pengaruh Jokowi dan membuat kakek Jan Ethes berada pada pusat pusaran politik.

Politik dinasti

Posisi Jokowi sebagai pusat pusaran politik ternyata juga berimbas pada putranya. Dua putra kandungnya turut diperbincangkan, diperebutkan, bahkan hadir sebagai “data” yang akan menguji proposisi yang kini berhembus kencang: “Jokowi sedang membangun politik dinasti”.

Putra sulung Jokowi, Gibran, ayah Jan Ethes Srinarendra sedang disorot publik. Wali Kota Solo sejak 26 Februari 2021 itu meniti karier politiknya juga melalui PDI-P.

Sama dengan ayahnya, Gibran tampak sigap membaca dan merespons peta politik yang menempatkan ayahnya pada pusat pusaran.

Sejumlah kalangan yang berkepentingan, termasuk bakal capres Prabowo Subianto, rajin mengunjunginya.

Gibran pun meladeni dengan cara dan gayanya. Bahkan, ia terang-terangan menyatakan dilamar Prabowo sebagai bakal cawapres.

Meski usia ayah Jan Ethes itu belum genap 40 tahun, syarat usia minimum capres dan cawapres menurut undang-undang yang berlaku.

Ide menjadikan Gibran sebagai bakal cawapres sangat jelas ke mana arahnya. Tak lain mengambil efek Jokowi. Tapi, apakah Jokowi juga berkepentingan? Yang pasti, ide tersebut kemudian menghebohkan.

Langkah yang ditempuh lalu terkesan “memaksakan”. Tak ada jalan lain selain mengajukan permohonan perubahan undang-undang yang membatasi syarat usia capres dan cawapres melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Tak hanya batas usia, pemohon juga menambahkan syarat “pengalaman menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah”. Persaingan politik lapangan bergeser ke dalam ruang sidang MK. Isu politik dibawa ke ranah konstitusionalitas.

Itulah yang membuat sejumlah kalangan melihat secara kritis. Ada gelagat memperalat MK sebagai penopang kepentingan politik praktis kalangan tertentu.

Keluarga Jokowi tak luput dari sasaran kritik keras. Terbentuklah proposisi yang kini berhembus kencang: “Jokowi sedang membangun politik dinasti”. MK dimanfaatkan sebagai instrumen legalisasi politik dinastinya.

Kritik keras itu menilai, permohonan uji materi di MK bukan lagi ditujukan untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga, melainkan diduga kuat dilandasi nafsu kuasa kalangan tertentu, termasuk keluarga Jokowi.

Pandangan kritis itu semakin terdengar nyaring mendekati jadwal pendaftaran capres-cawapres. Koalisi parpol pengusung Prabowo dan kelompok sukarelawan Jokowi semakin koor mengusulkan Gibran menjadi bakal cawapres Prabowo.

MK memang belum memutuskan. Konon MK akan membacakan keputusannya pada 16 Oktober 2023, menjelang jadwal pendaftaran capres-cawapres.

Ada kesan lamban, dan kesan lamban ini pula yang memunculkan kasak-kusuk negatif bahwa MK turut bermain politik.

Karena itu, mau tak mau, suka tak suka, MK disorot oleh publik. Ada yang memlesetkan Mahkamah Konstitusi menjadi “Mahkamah Keluarga”. Hubungan kekerabatan antara Jokowi dan Ketua MK Anwar Usman pun terbawa-bawa dalam urusan itu.

Kredibilitas, reputasi, dan kualifikasi kenegarawanan para hakim MK sungguh diuji dan dipertaruhkan. Apakah hakim-hakim MK akan melihat dengan kualifikasi negarawan yang bijak dan bajik, atau terpengaruh pragmatisme politik menjelang Pemilu 2024.

Proposisi “Jokowi sedang membangun politik dinasti” juga dibaca dan dikaitkan pula oleh publik dengan Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi.

Paman Jan Ethes Srinarendra itu juga sigap merespons pinangan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Meski baru dua hari pegang kartu tanda anggota PSI, ia langsung menerima tawaran PSI sebagai ketua umum.

Kaesang segera bergerak pasca-menjabat ketua umum PSI. Sehari setelah dilantik, ia langsung memimpin rapat koordinasi jajaran petinggi PSI.

Ia juga bergerak menemui simpul-simpul relawan Jokowi. Kaesang langsung blusukan ke wilayah padat penduduk mengikuti gaya komunikasi ayahnya.

Ia juga mengunjungi petinggi organisasi masyarakat, termasuk berinisiatif membangun rekonsiliasi dengan PDI-P dan bertemu Puan Maharani yang mewakili Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Pilihan politik Kaesang mengundang kritik keras. Pilihan politik itu dinilai “tak elok”, karena keluar dari jalur politik yang telah membesarkan keluarga besarnya. Terkesan ada agenda tersembunyi.

Sebagian publik mengecamnya, menganggapnya tak tahu balas budi. Kaesang dinilai hanya dimanfaatkan untuk menyelamatkan PSI dari ancaman tak masuk Senayan pada Pemilu 2024.

Namun, politik tak mungkin bertepuk sebelah tangan. Meski jam terbangnya di dunia politik belum seberapa, Kaesang tentu sudah berhitung kepentingannya. Setidaknya untuk kepentingan Pemilu 2024, atau mungkin kepentingan jangka panjang.

Menguji proposisi

Beberapa hari lagi publik akan melihat apakah trio “jan ethes” itu mengukuhkan proposisi “Jokowi sedang membangun politik dinasti”, atau menggugurkannya. Saya tidak terlalu yakin trio “jan ethes” akan mengukuhkannya.

Saya masih melihat Jokowi bukan sosok politikus picisan yang suka angin-anginan, gampang jatuh ke lain hati. Ia politikus langgam Jawa sejati yang menyukai kerukunan (harmoni).

Mengukuhkan proposisi tersebut dengan menyetujui Gibran mendampingi Prabowo sebagai cawapres berpotensi besar membuka konflik serius dengan parpol pendukung Ganjar, terutama PDI-P yang telah membesarkannya. Jokowi dan Gibran akan dianggap brutus bagi PDI-P.

Jokowi juga akan mencederai prinsip kerukunan yang dipegang teguh selama menjadi presiden. Demi prinsip kerukunan itu pula ia harus merangkul dan mengajak Prabowo yang semula lawan politiknya untuk masuk pemerintahannya. PDI-P pun tak menolaknya.

Di samping itu, politik dinasti boleh jadi akan menurunkan citra positif Jokowi. Keberlanjutan kebijakan dan program-program pemerintahannya niscaya membutuhkan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan memiliki citra positif di mata publik. Politik dinasti justru kontraproduktif bagi kepentingan tersebut.

Saya masih percaya adagium “menit terakhir” (last minute) dalam proses politik. Boleh jadi proses politik pilpres masih belum matang, masih terus berlangsung menuju kematangannya pada menit-menit terakhir.

Proses politik itu akan menemukan kematangan, titik kristal: trio “jan ethes” menggugurkan proposisi membangun politik dinasti.

Namun, saya juga diingatkan oleh literatur yang pernah saya baca. Kekuasaan itu bak candu, kenikmatannya tak jarang membuat seseorang hilang kesadaran. Kekuasaan bisa mengubah segalanya.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/12/12544931/trio-jan-ethes-dan-politik-dinasti

Terkini Lainnya

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Nasional
KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

Nasional
Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Nasional
KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena 'Mark Up' Harga Lahan Tebu PTPN XI

KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena "Mark Up" Harga Lahan Tebu PTPN XI

Nasional
Kejagung Periksa Pihak Bea Cukai di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Kejagung Periksa Pihak Bea Cukai di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Nasional
PDI-P Ungkap Peluang Usung 3 Nama di Pilkada Jabar: Bima Arya, Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil

PDI-P Ungkap Peluang Usung 3 Nama di Pilkada Jabar: Bima Arya, Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke