JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto harus bertanggungjawab atas dugaan suplai senjata dari tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke junta militer Myanmar.
Pasalnya, Presiden Jokowi menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan Prabowo Subianto menjabat sebagai Ketua Harian KKIP.
Komite tersebut mewakili pemerintah untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional terkait senjata dari hulu ke hilir, meliputi perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan.
"Ini dugaan serius dan berbahaya jika betul terjadi, mereka yang bertanggung jawab pada industri pertahanan baik yang duduk sebagai KKIP maupun menteri terkait, ternyata dia adalah gate keeper untuk BUMN dalam hal produksi, distribusi, dan transaksi senjata yang kemudian digunakan untuk Myanmar dalam melakukan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat," kata Julius di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (9/10/2023).
Baca juga: Komnas HAM Diminta Selidiki 3 BUMN Diduga Jual Senjata ke Junta Militer Myanmar
Julius mengatakan, komite akan memverifikasi pengadaan dan pembelian senjata. Verifikasi tersebut meliputi jumlah senjata dan amunisi yang dibeli, serta peruntukannya.
Sebab, dalam peraturan pelaksana UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, pembeli senjata dan amunisi harus menjelaskan penggunaan senjata tersebut.
Terlebih, jumlah yang dipesan dalam jumlah banyak dengan konsep government to government.
Dalam pengadaan senjata, pengusulan dilakukan oleh Menteri Pertahanan kepada KKIP. Lalu, pelaksananya diserahkan kepada BUMN yang membidangi industri pertahanan, DEFEND ID.
"Mungkin enggak tidak ada verifikasi? Industri pertahanan adalah salah satu industri yang tidak terbuka bagi ruang investasi publik. Hanya boleh pemerintah di bawah Kemenhan (Kementerian Pertahanan). Baru diusulkan terbuka investasi kepada swasta, produksinya oleh swasta jual beli oleh swasta langsung dengan konsep B2B, di UU Ciptaker," ujar Julius.
Baca juga: Komnas HAM Didesak Investigasi Dugaan 3 BUMN Pasok Senjata untuk Junta Militer Myanmar
Dengan begitu, jika dugaan tersebut benar, Julius menilai pemerintah telah terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, mengingat dalam konteks hukum pidana dikategorikan sebagai perbantuan.
Ia lantas mencontohkan seseorang yang meminjam pisau. Biasanya, pemilik pisau akan menanyakan lebih dahulu untuk apa penggunaan pisau tersebut.
"Ketika ada satu pelaku melakukan kejahatan kemanusiaan atau kejahatan genosida, ada pihak lain yang membantu melakukan itu, maka pihak itu harus bertanggung jawab," kata Julius.
"Saya bicara satu pisau tadi, tapi dalam konteks Myanmar kita bicara lebih dari ratusan juta amunisi peluru, kita bicara lebih dari ratusan juta senjata api mesin," ujarnya lagi.
Baca juga: Wakil Menteri Mengaku Tidak Tahu Ada BUMN Jual Senjata ke Myanmar
Sebelumnya diberitakan, tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meliputi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia, dilaporkan menyuplai senjata untuk junta Militer Myanmar.
Laporan ini disampaikan oleh para penggiat HAM melalui kuasa hukumnya, Feri Amsari, kepada Komnas HAM pada awal pekan ini.
Organisasi yang mengajukan pengaduan tersebut mencakup dua organisasi Myanmar, yaitu Chin Human Rights Organisation dan Myanmar Accountability Project, serta mantan jaksa agung dan aktivis HAM Indonesia Marzuki Darusman.
Dalam pengaduannya, mereka menuduh tiga BUMN yang merupakan produsen senjata telah memasok peralatan ke Myanmar melalui perusahaan Myanmar bernama True North yang dimiliki oleh putra seorang menteri di Myanmar.
Para aktivis mengatakan, Myanmar telah membeli berbagai barang dari perusahaan tersebut, termasuk pistol, senapan serbu, dan kendaraan tempur.
Baca juga: PT DI Bantah Laporan Menjual Senjata ke Junta Myanmar
Mendengar laporan tersebut, holding perusahaan pelat merah di bidang pertahanan, DEFEND ID, menyatakan tidak pernah menjual senjata atau alat peralatan pertahanan dan keamanan ke junta militer.
DEFEND ID merupakan induk perusahaan, menaungi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia yang dilaporkan ke Komnas HAM karena disebut menjual menjual senjata ke Myanmar.
“Dapat kami sampaikan bahwa tidak ada kerja sama maupun penjualan produk alpahankam dari perusahaan tersebut ke Myanmar,” kata Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Holding Defend ID, Bobby Rasyidin, dalam keterangan pers, Rabu (4/10/2023).
Perusahaan mengatakan, PT Pindad tidak pernah memasok senjata ke negara tersebut sejak 1 Februari 2023 atau tepatnya sejak kudeta berlangsung.
Penjualan senjata juga dibantah oleh Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (DI) Gita Amperiawan. Ia mengatakan, perusahaannya tidak pernah ada transaksi jual beli senjata dengan junta militer Myanmar.
"Sejak PT DI berdiri, tidak pernah ada transaksi atau sales kontrak dengan pemerintahan Myanmar. PT DI tidak pernah bertransaksi dengan pemerintah Myanmar baik secara langsung maupun tidak langsung,” katanya.
Baca juga: Defend ID Nyatakan Tak Pernah Jual Senjata ke Junta Militer Myanmar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.