Nyatanya, jurang ketimpangan makin tinggi, disparitas kian lembar, menjauh dari tujuan berdirinya republik ini.
Artinya, realitas yang terpampang dihadapan kita menunjukan bahwa ada ketidakmampuan atau kegagalan mengelola negara, di tingkat nasional maupun lokal. Atau bila mau jujur, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengkhianatan terhadap konstitusi.
Kegagalan negara sejauh ini memang tersaji di hampir semua daerah di Tanah Air. Tapi menumpuknya berbagai ketimpangan di kawasan timur Indonesia yang notabene dihuni ras Melanesia membuat wajah ketidakadilan di kawasan tersebut jauh lebih kentara atau menonjol dan sulit untuk ditepis.
Wajar kemudian ketidakpuasan secara politik atau political discontent kerap muncul dan mengemuka dalam berbagai ekspresi politik, mulai dari sekadar mengibarkan bendera, hingga mengangkat senjata.
Apa yang terjadi di Papua dan Maluku dalam berbagai ‘gerakan politik disintegrasi’ bisa jadi adalah konsekuensi logis dari ketidakadilan itu.
Persentuhan negara dengan tiap-tiap warga negara yang tak sama, tentu menghadirkan perasaan diperlakukan tidak adil. Perasaan ini kerap menemukan momentumnya, atau lebih ekspresif bila ada protes dan perlawanan secara terbuka yang dilakukan secara kolektif atau bersama-sama.
Apalagi kemudian ada alasan-alasan secara historis dan kultural yang turut mendukung. Seperti Maluku yang punya alasan sejarah proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950 saat Indonesia masih berbentuk RIS dan Papua yang kerap memiliki banyak alasan untuk menjadi negara terpisah.
Menyikapi realitas yang ada, diperlukan berbagai pendekatan lebih terukur, termasuk tindakan afirmatif oleh negara, terutama pada kawasan timur Indonesia.
Tidak saja bagi Papua yang ada pergolakan politik bersenjata, tapi juga pada Maluku Raya dan NTT, ras Melanesia yang ada di tubir ketertinggalan.
Begitu pula dengan masyarakat sipil, semua harus mengambil bagian dalam menciptakan kehangatan sosial, pun dengan menghindari tindakan rasisme.
Karena dengan semakin memburuknya kehangatan sosial, tentu saja berujung pada kekecewaan politik makin meluas dan tak terbendung.
Termasuk dengan cara dan pendekatan kekerasan atau militer, serta pemenjaraan yang dilakukan selama ini terbukti tidak lagi relevan. Misalnya, hukuman penjara terhadap aktivis RMS dalam waktu lama faktanya tidak menyurutkan perjuangan mereka.
Juga terhadap aktivis dari Papua yang bersuara menuntut keadilan tanpa menggunakan senjata, kemudian ditahan atau dipenjara pun mereka tetap terus bersuara, bahkan semakin nyaring terdengar.
Memang dalam sejarah peradaban manusia, kekerasan itu tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menambah atau melahirkan kekerasan yang baru, seperti gatal, semakin digaruk semakin luka.
Komunikasi dan dialog, termasuk langkah-langkah diplomatik elegan harus ditempuh atau dikedepankan. Begitupun dengan kehangatan sosial antarnegara dan warga negara perlu diperkuat.