Maluku juga demikian partisipasi sekolah pada usia 7-12 sejatinya sangat tinggi, yaitu 99.55 persen, tapi perlahan menurun, pada usia 13-15 turun menjadi 97,69 persen, selanjutnya usia 16-18 tahun 79,03 persen, dan usia 19-24 tahun tersisa 40,15 persen.
Termasuk pula dengan Indeks Pengangguran Terbuka yang dikeluarkan BPS tahun 2023, sejumlah daerah dari kawasan timur Indonesia memiliki proporsi pengangguran terbuka yang relatif besar.
Misalnya, Maluku sebesar 6,08 persen dan Papua Barat 5,54 persen, ini di atas rata-rata nasional 5,45 persen.
Sama halnya dengan Indeks Tata Kelola Pemerintahan yang dikeluarkan Partnership tahun 2014, tercatat semua provinsi di kawasan timur Indonesia, NTT, Maluku dan Maluku Utara, Papua dan Papua Barat ada di urutan paling bawah. Berada di zona merah, atau yang paling buruk tata kelola pemerintahannya
Ini belum termasuk indeks lainnya, seperti akses literasi, pelayanan kesehatan hingga transportasi. Semua kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa selama dan sejauh ini ada yang salah dalam skema dan orientasi pembangunan nasional. Distribusi keadilan belum mengejawantahkan amanat konstitusi.
Meski jelas tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945. Sebagai sandaran konstitusi yang menegaskan bahwa negara wajib memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai UU. Soal pendidikan, misalnya, sesuai dengan pasal 31 UUD NRI 1945, yang diperkuat dengan UU Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Namun kenyataannya, distribusi dan pelayanan pendidikan masih jauh dari kata adil. Bisa disaksikan sendiri, mulai dari kondisi sekolah, prasarana pendidikan, ketersediaan tenaga guru atau pengajar, hingga usia harapan sekolah antara anak-anak yang tumbuh dan besar di kepulauan Maluku, NTT dan Papua, masih terus memprihatinkan.
Kemudian terkait pengentasan kemiskinan. Selain pasal 34 UUD NRI 1945, yang menjelaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, telah ada pula penjabaran lewat UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, yang menyebutkan dengan jelas bahwa penanganan fakir miskin adalah:
“Upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara”.
Menegaskan bahwa negara berkewajiban mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan kemiskinan.
Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan dasar.
Begitu pula soal jaminan mendapatkan pekerjaan. Telah jelas diamanatkan pada Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Ayat ini memuat pengakuan dan jaminan negara bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tapi bila melihat atau membandingkan indeks yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui BPS tentu saja mencerminkan realitas yang paradoks.
Itu berarti negara sejatinya telah menyediakan instrumen konstitusi, termasuk pula melalui berbagai UU serta regulasi lainnya yang adalah panduan dan rujukan agar keadilan bisa didistribusikan dengan baik.