Salin Artikel

Ketertinggalan Timur Indonesia: Menagih Tanggung Jawab Negara

Itu pula mengapa wacana atau opini di berbagai medium komunikasi dan publikasi perlu terus dilakukan. Negara sebagai pemangku kewajiban harus diingatkan bahwa ada yang tak beres dan bahkan sedang menuju pada titik yang salah dari tujuan atau cita-cita luhur negara ini didirikan.

Faktanya tersaji dengan jelas dan gamblang melalui berbagai data statistik. Sejumlah —bila tak mau disebut semua— indeks ketertinggalan, ketimpangan, dan ketidakadilan secara nasional berada di kawasan timur Indonesia yang dihuni oleh ras Melanesia.

Meminjam penyebaran dan pengelompokan ras yang ditulis dalam buku Diaspora Melanesia di Nusantara terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, Melanesia di Indonesia tersebar di Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Sehingga bila kawasan timur Indonesia terus tertinggal, atau bahkan termarjinalkan, sudah pasti ras Melanesia yang paling terdampak, dan kemudian menjadi rentan dieksploitasi secara politik atau mudah untuk terbangunnya sentimen politik (identitas) yang kontraproduktif bagi persatuan bangsa.

Sejumlah pemeringkatan atau indeks, baik itu yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) maupun berbagai lembaga, menunjukkan realitas ketertinggalan kawasan timur Indonesia yang kentara.

Misalnya, pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks yang mengukur tingkat perkembangan manusia berdasarkan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan ini, selalu menempatkan kawasan timur Indonesia pada posisi lebih rendah, menunjukkan ketidaksetaraan dalam aspek-aspek tersebut.

Dari data BPS 2022 menempatkan Papua pada urutan 34 dengan indeks 61.39, Papua Barat di urutan 33 dengan indeks 65.89, kemudian Maluku Utara urutan 32 dengan indeks 69.47 dan Maluku urutan 31 dengan indeks 70.22. Adapun indeks rata-rata national sebesar 72.91.

Begitu pun dengan Indeks Kemiskinan. Indeks yang mengukur tingkat kemiskinan di suatu daerah ini selalu menempatkan kawasan timur Indonesia dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian Indonesia lainnya.

Pada Maret 2023, BPS kembali menempatkan Papua pada urutan 38 dengan angka kemiskinan sebesar 26,03 persen, Papua Barat di urutan 37 dengan angka kemiskinan 20,49 persen, kemudian Nusa Tenggara Timur urutan 36 dengan jumlah penduduk miskin 19,96 persen di susul Maluku dengan 16,42 persen. Sedangkan rata-rata nasional adalah 9,36 persen.

Berikutnya dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS), yang mengukur sejauh mana anak-anak di suatu daerah berpartisipasi dalam pendidikan.

Oleh BPS 2022 juga memperlihatkan kawasan timur Indonesia memiliki APS lebih rendah, menunjukkan besarnya tantangan dalam akses pendidikan.

Sebut saja, untuk Papua, usia 7-12 tahun sebesar 84,35 persen, usia 13-15 tahun 81,66 persen, usia 16-18 tahun 65,93 persen, dan untuk usia 19-24 menukik menjadi 25,99 persen tingkat partisipasi.

Tidak jauh berbeda dengan Papua Barat, sekalipun pada usia 7-12 tahun sebesar 98,27 persen, usia 13-15 tahun 97,37 persen, dan usia 16-18 tahun 80,56 persen, namun usia 19-24 tahun menyisakan 30,69 persen.

Begitu pula dengan Maluku Utara, meski angka partisipasi sekolah pada usia 7-12 terbilang tinggi, yaitu 99,13 persen, kemudian pada usia 13-15 turun 97,59 persen, namun pada usia 16-18 turun 77,7 persen dan makin menurun pada usia 19-24, hanya 30,67 persen.

Maluku juga demikian partisipasi sekolah pada usia 7-12 sejatinya sangat tinggi, yaitu 99.55 persen, tapi perlahan menurun, pada usia 13-15 turun menjadi 97,69 persen, selanjutnya usia 16-18 tahun 79,03 persen, dan usia 19-24 tahun tersisa 40,15 persen.

Termasuk pula dengan Indeks Pengangguran Terbuka yang dikeluarkan BPS tahun 2023, sejumlah daerah dari kawasan timur Indonesia memiliki proporsi pengangguran terbuka yang relatif besar.

Misalnya, Maluku sebesar 6,08 persen dan Papua Barat 5,54 persen, ini di atas rata-rata nasional 5,45 persen.

Sama halnya dengan Indeks Tata Kelola Pemerintahan yang dikeluarkan Partnership tahun 2014, tercatat semua provinsi di kawasan timur Indonesia, NTT, Maluku dan Maluku Utara, Papua dan Papua Barat ada di urutan paling bawah. Berada di zona merah, atau yang paling buruk tata kelola pemerintahannya

Ini belum termasuk indeks lainnya, seperti akses literasi, pelayanan kesehatan hingga transportasi. Semua kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa selama dan sejauh ini ada yang salah dalam skema dan orientasi pembangunan nasional. Distribusi keadilan belum mengejawantahkan amanat konstitusi.

Meski jelas tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945. Sebagai sandaran konstitusi yang menegaskan bahwa negara wajib memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dasar konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai UU. Soal pendidikan, misalnya, sesuai dengan pasal 31 UUD NRI 1945, yang diperkuat dengan UU Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Namun kenyataannya, distribusi dan pelayanan pendidikan masih jauh dari kata adil. Bisa disaksikan sendiri, mulai dari kondisi sekolah, prasarana pendidikan, ketersediaan tenaga guru atau pengajar, hingga usia harapan sekolah antara anak-anak yang tumbuh dan besar di kepulauan Maluku, NTT dan Papua, masih terus memprihatinkan.

Kemudian terkait pengentasan kemiskinan. Selain pasal 34 UUD NRI 1945, yang menjelaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, telah ada pula penjabaran lewat UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, yang menyebutkan dengan jelas bahwa penanganan fakir miskin adalah:

“Upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara”.

Menegaskan bahwa negara berkewajiban mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan kemiskinan.

Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan dasar.

Begitu pula soal jaminan mendapatkan pekerjaan. Telah jelas diamanatkan pada Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Ayat ini memuat pengakuan dan jaminan negara bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tapi bila melihat atau membandingkan indeks yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui BPS tentu saja mencerminkan realitas yang paradoks.

Itu berarti negara sejatinya telah menyediakan instrumen konstitusi, termasuk pula melalui berbagai UU serta regulasi lainnya yang adalah panduan dan rujukan agar keadilan bisa didistribusikan dengan baik.

Nyatanya, jurang ketimpangan makin tinggi, disparitas kian lembar, menjauh dari tujuan berdirinya republik ini.

Artinya, realitas yang terpampang dihadapan kita menunjukan bahwa ada ketidakmampuan atau kegagalan mengelola negara, di tingkat nasional maupun lokal. Atau bila mau jujur, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengkhianatan terhadap konstitusi.

Kegagalan negara sejauh ini memang tersaji di hampir semua daerah di Tanah Air. Tapi menumpuknya berbagai ketimpangan di kawasan timur Indonesia yang notabene dihuni ras Melanesia membuat wajah ketidakadilan di kawasan tersebut jauh lebih kentara atau menonjol dan sulit untuk ditepis.

Wajar kemudian ketidakpuasan secara politik atau political discontent kerap muncul dan mengemuka dalam berbagai ekspresi politik, mulai dari sekadar mengibarkan bendera, hingga mengangkat senjata.

Apa yang terjadi di Papua dan Maluku dalam berbagai ‘gerakan politik disintegrasi’ bisa jadi adalah konsekuensi logis dari ketidakadilan itu.

Persentuhan negara dengan tiap-tiap warga negara yang tak sama, tentu menghadirkan perasaan diperlakukan tidak adil. Perasaan ini kerap menemukan momentumnya, atau lebih ekspresif bila ada protes dan perlawanan secara terbuka yang dilakukan secara kolektif atau bersama-sama.

Apalagi kemudian ada alasan-alasan secara historis dan kultural yang turut mendukung. Seperti Maluku yang punya alasan sejarah proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950 saat Indonesia masih berbentuk RIS dan Papua yang kerap memiliki banyak alasan untuk menjadi negara terpisah.

Menyikapi realitas yang ada, diperlukan berbagai pendekatan lebih terukur, termasuk tindakan afirmatif oleh negara, terutama pada kawasan timur Indonesia.

Tidak saja bagi Papua yang ada pergolakan politik bersenjata, tapi juga pada Maluku Raya dan NTT, ras Melanesia yang ada di tubir ketertinggalan.

Begitu pula dengan masyarakat sipil, semua harus mengambil bagian dalam menciptakan kehangatan sosial, pun dengan menghindari tindakan rasisme.

Karena dengan semakin memburuknya kehangatan sosial, tentu saja berujung pada kekecewaan politik makin meluas dan tak terbendung.

Termasuk dengan cara dan pendekatan kekerasan atau militer, serta pemenjaraan yang dilakukan selama ini terbukti tidak lagi relevan. Misalnya, hukuman penjara terhadap aktivis RMS dalam waktu lama faktanya tidak menyurutkan perjuangan mereka.

Juga terhadap aktivis dari Papua yang bersuara menuntut keadilan tanpa menggunakan senjata, kemudian ditahan atau dipenjara pun mereka tetap terus bersuara, bahkan semakin nyaring terdengar.

Memang dalam sejarah peradaban manusia, kekerasan itu tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menambah atau melahirkan kekerasan yang baru, seperti gatal, semakin digaruk semakin luka.

Komunikasi dan dialog, termasuk langkah-langkah diplomatik elegan harus ditempuh atau dikedepankan. Begitupun dengan kehangatan sosial antarnegara dan warga negara perlu diperkuat.

Negara wajib hadir, ketimpangan harus diurai, ketidakpuasan politik perlu dijawab dengan menghadirkan distribusi keadilan yang lebih baik, merata dan bermartabat.

Negara mesti dikelola dengan tunduk dan berorientasi kepada kepentingan rakyat sebagaimana cita-cita berbangsa dan bernegara yang diamanatkan oleh konstitusi.

Bukan justru sebaliknya, menggunakan kekerasan dan bahkan berujung pada pelanggaran HAM, serta mengabdi pada kepentingan kelompok dan individu, terutama para pemilik modal atau oligarki. Seperti yang terlihat dengan gamblang belakangan ini, di tingkat pusat hingga daerah.

Jika elite (politik) dan semua pihak yang telah diberikan amanah untuk mengelola negara ini tak kunjung berbenah dan berpikir sebagaimana negarawan, maka tidak bisa disalahkan bila keadaan terus memburuk, integrasi nasional kian terancam atau ada di ambang kegagalan.

Sesuatu yang menjadi tanggung jawab negara, generasi hari ini, kita semua!

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/09/11464071/ketertinggalan-timur-indonesia-menagih-tanggung-jawab-negara

Terkini Lainnya

Akrab dengan Puan di Bali, Jokowi: Sudah Lama Akrab dan Baik dengan Mbak Puan

Akrab dengan Puan di Bali, Jokowi: Sudah Lama Akrab dan Baik dengan Mbak Puan

Nasional
Jaksa: Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Kembalikan Uang Rp 40 Miliar dalam Kasus Korupsi BTS 4G

Jaksa: Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Kembalikan Uang Rp 40 Miliar dalam Kasus Korupsi BTS 4G

Nasional
WIKA Masuk Top 3 BUMN dengan Transaksi Terbesar di PaDi UMKM

WIKA Masuk Top 3 BUMN dengan Transaksi Terbesar di PaDi UMKM

Nasional
Nadiem Janji Batalkan Kenaikan UKT yang Nilainya Tak Masuk Akal

Nadiem Janji Batalkan Kenaikan UKT yang Nilainya Tak Masuk Akal

Nasional
KPK Periksa Mantan Istri Eks Dirut Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Mantan Istri Eks Dirut Taspen Antonius Kosasih

Nasional
Bobby Resmi Gabung Gerindra, Jokowi: Sudah Dewasa, Tanggung Jawab Ada di Dia

Bobby Resmi Gabung Gerindra, Jokowi: Sudah Dewasa, Tanggung Jawab Ada di Dia

Nasional
Kapolri Diminta Tegakkan Aturan Terkait Wakapolda Aceh yang Akan Maju Pilkada

Kapolri Diminta Tegakkan Aturan Terkait Wakapolda Aceh yang Akan Maju Pilkada

Nasional
Jelaskan ke DPR soal Kenaikan UKT, Nadiem: Mahasiswa dari Keluarga Mampu Bayar Lebih Banyak

Jelaskan ke DPR soal Kenaikan UKT, Nadiem: Mahasiswa dari Keluarga Mampu Bayar Lebih Banyak

Nasional
Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Nasional
Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandang Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandang Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Nasional
Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku bagi Mahasiswa Baru

Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku bagi Mahasiswa Baru

Nasional
Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Nasional
Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Nasional
Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Nasional
Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke