Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

"Leiden is lijden", Memimpin Itu Menderita

Kompas.com - 05/10/2023, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Een Leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden. Jalan memimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin itu menderita.

PEPATAH kuno Belanda itu diucapkan Kasman Singodimedjo saat dirinya bersama Mohammad Roem dan Soeparno berkunjung ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta, pada 1925.

Haji Agus Salim, tokoh besar yang oleh Sukarno dijuluki “The Grand Old Man”, dikenal sebagai politisi paling sederhana pada masanya.

Meski tercatat sebagai aktivis lawas, pernah ditunjuk sebagai anggota BPUPKI, bahkan empat kali menjabat Menteri Luar Negeri di pemerintahan berbeda, Haji Agus Salim dan keluarganya tetap berstatus sebagai “pengontrak” rumah hingga akhir hayatnya.

Ia juga merupakan satu dari sedikit politisi yang tetap percaya diri memakai jas yang penuh bekas jahitan dan tisikan sang istri.

Namun, pepatah “memimpin itu menderita” punya makna lebih luas dari kesederhanaan hidup. Boleh jadi, maknanya adalah proses menjadi seorang pemimpin, seperti dinubuatkan Tan Malaka: terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.

Boleh jadi maknanya adalah tipikal kekuasaan politik yang menghidupi mimpi-mimpi Mohammad Hatta tentang “negara pengurus”, yang berisikan pemimpin dan aparatur yang bermental sebagai pelayan rakyat. Bukan kekuasaan politik ala zaman feodal: rakyat melayani pemimpin.

Jalan pintas berpolitik

Politik mensyaratkan kesetaraan. Sukarno menyebutnya “politieke rechtvaardigheid”. Ini bukan sekadar kesetaraan hak pilih (suffrage), tetapi juga berpartisipasi dalam politik dan memengaruhi kebijakan.

Masalahnya, kemampuan seseorang berpartisipasi dalam politik terkadang dipengaruhi beragam faktor, mulai dari desain politik (UU Pemilu, dll), dukungan sumber daya, biaya politik yang mahal, dan faktor sosial-budaya.

Faktor-faktor itu membuat jalan politik setiap orang atau organisasi bisa berbeda. Ada yang mendapati jalan tol atau bebas hambatan. Ada yang dipaksa melewati jalan berkelok, terkadang menukik tajam. Ada juga jalan yang lebih cepat seperti kereta cepat: whoosh!

Mereka yang punya sumber daya, terutama kekayaan, bisa memiliki jalan politik yang cepat. Tak perlu meniti jalan menjadi kader biasa, lalu pengurus di level bawah, yang memakan waktu panjang.

Dengan kekayaannya, mereka bisa membeli posisi penting di partai, mendapat nomor urut terbaik saat pencalonan, dan menjadi prioritas untuk dicalonkan dalam Pemilu/Pilkada. Tidak heran, yang kaya-lah yang cemerlang politiknya.

Sebanyak 313 orang atau 55 persen anggota DPR berlatar-belakang pengusaha (Marepus Corner, 2020).

Di jabatan parpol, ketua partai dengan kekayaan terkecil adalah Ketua Umum PKS, Ahmad Syaikhu, sebesar Rp 4,8 miliar (LHKPN, 2021).

Ada empat pimpinan partai dengan kekayaan triliunan rupiah: Prabowo Subianto (Gerindra), Surya Paloh (Nasdem), Muhamad Mardiono (PPP), dan Hary Tanoesoedibjo (Perindo).

Selain kekayaan, “darah biru politik” juga merupakan jalur pintas untuk meraih kekuasaan politik. Data Formappi, ada 48 anggota DPR periode 2019-2014 yang terindikasi kuat dari jalur politik dinasti.

Situasi politik lokal lebih parah lagi. Pada Pilkada 2020, ada 159 calon yang memiliki pertalian dengan politisi yang lebih dulu berkibar (Yoes C. Kenawas, 2020).

Tak jarang terjadi, kekuasaan lokal tak menyerupai keluarga: Suami (bupati), Istri (ketua DPRD), anak (ketua partai/anggota DPRD), kerabat lain menguasai dinas-dinas.

Tentu saja, politik dinasti tidak sehat. Selain menciptakan ketidakadilan partisipasi politik, politik dinasti juga membuka jalan bagi korupsi berskala besar.

Bagi politisi miskin dan bukan darah biru, bukan lagi “memimpin itu menderita”, melainkan berarti meniti karier politik sepanjang masa.

Politik yang Oligarkis

Kalau politik dijalankan sesuai khittahnya, politik sebagai pengorganisasian warga untuk kebaikan bersama, maka berpolitik memang jalan untuk menderita.

Betapa tidak, seorang politisi rela mengabdikan dirinya, tenaganya, dan waktunya demi kepentingan bersama.

Namun, dalam konteks Indonesia, kita menemukan wajah politik berbeda. Tak sedikit elite maupun parpol yang hanya berorientasi untuk merebut kontrol atau akses pada kekuasaan dan sumber daya negara.

Akses dan kontrol terhadap jabatan publik dan otoritas negara menjadi penentu utama bagaimana kekayaan pribadi diakumulasi dan didistribusikan (Robison dan Vedi Hadiz, 2004).

Terjadilah fenomena “state capture”, ketika penyelenggaraan negara dan kebijakannya dikendalikan segelintir elite dan digunakan untuk melayani kepentingan segelintir elite itu.

Ini bukan isapan jempol belaka. Di Indonesia, jarang terjadi pejabat negara menyusut kekayaannya selama dan setelah ia menjabat. Yang terjadi, kekayaannya menumpuk berkali-kali lipat selama dan sesudah menjabat.

Jarang sekali menemukan sosok pejabat seperti Mohammad Hatta, yang ketika tak lagi menjabat justru kesulitan membayar tagihan listrik. Demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, Bung Hatta hanya bersandar pada honor tulisan-tulisannya.

Tidak ada sosok Haji Agus Salim, yang rela memakai jas penuh bekas jahitan dan tisikan istrinya. Atau Mohammad Natsir, tokoh yang pernah menjabat Perdana Menteri RI, sering menggunakan jas tambalan.

Hampir tak ada lagi jaksa berintegritas seperti Baharuddin Lopa dan polisi jujur seperti Hoegeng Iman Santoso.

Sekarang, bukan hal yang janggal kalau pejabat Indonesia masuk dalam daftar orang terkaya. Dan bangsa kita makin toleran seorang pengusaha menduduki jabatan politik yang berpotensi menciptakan “konflik kepentingan”.

Di negeri ini, bukan hal yang dilarang “rangkap jabatan”. Padahal, dalam UUDS 1950 (pasal 55, ayat 1 dan 2), rangkap jabatan presiden, wapres, dan anggota kabinet sudah dilarang keras.

Bahkan sudah melarang pejabat negara menduduki/punya kedudukan di perusahaan berorientasi bisnis.

Dalam kondisi negara yang tersandera oleh oligarki dan politik kartel, agak sulit rasanya berharap ada pejabat yang menempuh jalan politik: memimpin adalah menderita. Yang ada: “berkuasa untuk bertambah kaya”.

Kalau kita mau mengembalikan politik ke khittahnya, sebagai wahana memperjuangkan kebaikan bersama, maka jalan pemimpin adalah: memimpin untuk menderita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Lewat Pesantren Gemilang, Dompet Dhuafa Ajak Donatur Lansia Jalin Silaturahmi dan Saling Memotivasi

Lewat Pesantren Gemilang, Dompet Dhuafa Ajak Donatur Lansia Jalin Silaturahmi dan Saling Memotivasi

Nasional
Hari Pertama Penerbangan Haji, 4.500 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Hari Pertama Penerbangan Haji, 4.500 Jemaah Asal Indonesia Tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Ajak Masyarakat Sultra Doa Bersama supaya Bantuan Beras Diperpanjang

Jokowi Ajak Masyarakat Sultra Doa Bersama supaya Bantuan Beras Diperpanjang

Nasional
World Water Forum Ke-10, Ajang Pertemuan Terbesar untuk Rumuskan Solusi Persoalan Sumber Daya Air

World Water Forum Ke-10, Ajang Pertemuan Terbesar untuk Rumuskan Solusi Persoalan Sumber Daya Air

Nasional
Syarat Sulit dan Waktu Mepet, Pengamat Prediksi Calon Nonpartai Berkurang pada Pilkada 2024

Syarat Sulit dan Waktu Mepet, Pengamat Prediksi Calon Nonpartai Berkurang pada Pilkada 2024

Nasional
MKMK Sudah Terima Laporan Pelanggaran Etik Anwar Usman

MKMK Sudah Terima Laporan Pelanggaran Etik Anwar Usman

Nasional
Anak SYL Minta Pejabat Kementan Biayai Renovasi Kamar Rp 200 Juta

Anak SYL Minta Pejabat Kementan Biayai Renovasi Kamar Rp 200 Juta

Nasional
Agus Rahardjo Sebut Penyidik KPK Tunduk ke Atasan di Kejaksaan, Kejagung: Jangan Asal 'Statement'

Agus Rahardjo Sebut Penyidik KPK Tunduk ke Atasan di Kejaksaan, Kejagung: Jangan Asal "Statement"

Nasional
Stafsus SYL Disebut Minta Kementan Danai Pengadaan Paket Sembako Senilai Rp 1,9 Miliar

Stafsus SYL Disebut Minta Kementan Danai Pengadaan Paket Sembako Senilai Rp 1,9 Miliar

Nasional
KNKT Investigasi Penyebab Rem Blong Bus Rombongan SMK Lingga Kencana

KNKT Investigasi Penyebab Rem Blong Bus Rombongan SMK Lingga Kencana

Nasional
KPK Panggil Lagi Windy Idol Jadi Saksi TPPU Sekretaris Nonaktif MA

KPK Panggil Lagi Windy Idol Jadi Saksi TPPU Sekretaris Nonaktif MA

Nasional
KPK Panggil Penyanyi Dangdut Nabila Nayunda Jadi Saksi TPPU SYL

KPK Panggil Penyanyi Dangdut Nabila Nayunda Jadi Saksi TPPU SYL

Nasional
Pakar: Jika Revisi UU Kementerian Negara atau Perppu Dilakukan Sekarang, Tunjukkan Prabowo-Gibran Semacam Periode Ke-3 Jokowi

Pakar: Jika Revisi UU Kementerian Negara atau Perppu Dilakukan Sekarang, Tunjukkan Prabowo-Gibran Semacam Periode Ke-3 Jokowi

Nasional
21 Persen Jemaah Haji Indonesia Berusia 65 Tahun ke Atas, Kemenag Siapkan Pendamping Khusus

21 Persen Jemaah Haji Indonesia Berusia 65 Tahun ke Atas, Kemenag Siapkan Pendamping Khusus

Nasional
Jokowi Sebut Impor Beras Tak Sampai 5 Persen dari Kebutuhan

Jokowi Sebut Impor Beras Tak Sampai 5 Persen dari Kebutuhan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com