Salin Artikel

"Leiden is lijden", Memimpin Itu Menderita

PEPATAH kuno Belanda itu diucapkan Kasman Singodimedjo saat dirinya bersama Mohammad Roem dan Soeparno berkunjung ke rumah Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta, pada 1925.

Haji Agus Salim, tokoh besar yang oleh Sukarno dijuluki “The Grand Old Man”, dikenal sebagai politisi paling sederhana pada masanya.

Meski tercatat sebagai aktivis lawas, pernah ditunjuk sebagai anggota BPUPKI, bahkan empat kali menjabat Menteri Luar Negeri di pemerintahan berbeda, Haji Agus Salim dan keluarganya tetap berstatus sebagai “pengontrak” rumah hingga akhir hayatnya.

Ia juga merupakan satu dari sedikit politisi yang tetap percaya diri memakai jas yang penuh bekas jahitan dan tisikan sang istri.

Namun, pepatah “memimpin itu menderita” punya makna lebih luas dari kesederhanaan hidup. Boleh jadi, maknanya adalah proses menjadi seorang pemimpin, seperti dinubuatkan Tan Malaka: terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.

Boleh jadi maknanya adalah tipikal kekuasaan politik yang menghidupi mimpi-mimpi Mohammad Hatta tentang “negara pengurus”, yang berisikan pemimpin dan aparatur yang bermental sebagai pelayan rakyat. Bukan kekuasaan politik ala zaman feodal: rakyat melayani pemimpin.

Jalan pintas berpolitik

Politik mensyaratkan kesetaraan. Sukarno menyebutnya “politieke rechtvaardigheid”. Ini bukan sekadar kesetaraan hak pilih (suffrage), tetapi juga berpartisipasi dalam politik dan memengaruhi kebijakan.

Masalahnya, kemampuan seseorang berpartisipasi dalam politik terkadang dipengaruhi beragam faktor, mulai dari desain politik (UU Pemilu, dll), dukungan sumber daya, biaya politik yang mahal, dan faktor sosial-budaya.

Faktor-faktor itu membuat jalan politik setiap orang atau organisasi bisa berbeda. Ada yang mendapati jalan tol atau bebas hambatan. Ada yang dipaksa melewati jalan berkelok, terkadang menukik tajam. Ada juga jalan yang lebih cepat seperti kereta cepat: whoosh!

Mereka yang punya sumber daya, terutama kekayaan, bisa memiliki jalan politik yang cepat. Tak perlu meniti jalan menjadi kader biasa, lalu pengurus di level bawah, yang memakan waktu panjang.

Dengan kekayaannya, mereka bisa membeli posisi penting di partai, mendapat nomor urut terbaik saat pencalonan, dan menjadi prioritas untuk dicalonkan dalam Pemilu/Pilkada. Tidak heran, yang kaya-lah yang cemerlang politiknya.

Sebanyak 313 orang atau 55 persen anggota DPR berlatar-belakang pengusaha (Marepus Corner, 2020).

Di jabatan parpol, ketua partai dengan kekayaan terkecil adalah Ketua Umum PKS, Ahmad Syaikhu, sebesar Rp 4,8 miliar (LHKPN, 2021).

Ada empat pimpinan partai dengan kekayaan triliunan rupiah: Prabowo Subianto (Gerindra), Surya Paloh (Nasdem), Muhamad Mardiono (PPP), dan Hary Tanoesoedibjo (Perindo).

Selain kekayaan, “darah biru politik” juga merupakan jalur pintas untuk meraih kekuasaan politik. Data Formappi, ada 48 anggota DPR periode 2019-2014 yang terindikasi kuat dari jalur politik dinasti.

Situasi politik lokal lebih parah lagi. Pada Pilkada 2020, ada 159 calon yang memiliki pertalian dengan politisi yang lebih dulu berkibar (Yoes C. Kenawas, 2020).

Tak jarang terjadi, kekuasaan lokal tak menyerupai keluarga: Suami (bupati), Istri (ketua DPRD), anak (ketua partai/anggota DPRD), kerabat lain menguasai dinas-dinas.

Tentu saja, politik dinasti tidak sehat. Selain menciptakan ketidakadilan partisipasi politik, politik dinasti juga membuka jalan bagi korupsi berskala besar.

Bagi politisi miskin dan bukan darah biru, bukan lagi “memimpin itu menderita”, melainkan berarti meniti karier politik sepanjang masa.

Politik yang Oligarkis

Kalau politik dijalankan sesuai khittahnya, politik sebagai pengorganisasian warga untuk kebaikan bersama, maka berpolitik memang jalan untuk menderita.

Betapa tidak, seorang politisi rela mengabdikan dirinya, tenaganya, dan waktunya demi kepentingan bersama.

Namun, dalam konteks Indonesia, kita menemukan wajah politik berbeda. Tak sedikit elite maupun parpol yang hanya berorientasi untuk merebut kontrol atau akses pada kekuasaan dan sumber daya negara.

Akses dan kontrol terhadap jabatan publik dan otoritas negara menjadi penentu utama bagaimana kekayaan pribadi diakumulasi dan didistribusikan (Robison dan Vedi Hadiz, 2004).

Terjadilah fenomena “state capture”, ketika penyelenggaraan negara dan kebijakannya dikendalikan segelintir elite dan digunakan untuk melayani kepentingan segelintir elite itu.

Ini bukan isapan jempol belaka. Di Indonesia, jarang terjadi pejabat negara menyusut kekayaannya selama dan setelah ia menjabat. Yang terjadi, kekayaannya menumpuk berkali-kali lipat selama dan sesudah menjabat.

Jarang sekali menemukan sosok pejabat seperti Mohammad Hatta, yang ketika tak lagi menjabat justru kesulitan membayar tagihan listrik. Demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, Bung Hatta hanya bersandar pada honor tulisan-tulisannya.

Tidak ada sosok Haji Agus Salim, yang rela memakai jas penuh bekas jahitan dan tisikan istrinya. Atau Mohammad Natsir, tokoh yang pernah menjabat Perdana Menteri RI, sering menggunakan jas tambalan.

Hampir tak ada lagi jaksa berintegritas seperti Baharuddin Lopa dan polisi jujur seperti Hoegeng Iman Santoso.

Sekarang, bukan hal yang janggal kalau pejabat Indonesia masuk dalam daftar orang terkaya. Dan bangsa kita makin toleran seorang pengusaha menduduki jabatan politik yang berpotensi menciptakan “konflik kepentingan”.

Di negeri ini, bukan hal yang dilarang “rangkap jabatan”. Padahal, dalam UUDS 1950 (pasal 55, ayat 1 dan 2), rangkap jabatan presiden, wapres, dan anggota kabinet sudah dilarang keras.

Bahkan sudah melarang pejabat negara menduduki/punya kedudukan di perusahaan berorientasi bisnis.

Dalam kondisi negara yang tersandera oleh oligarki dan politik kartel, agak sulit rasanya berharap ada pejabat yang menempuh jalan politik: memimpin adalah menderita. Yang ada: “berkuasa untuk bertambah kaya”.

Kalau kita mau mengembalikan politik ke khittahnya, sebagai wahana memperjuangkan kebaikan bersama, maka jalan pemimpin adalah: memimpin untuk menderita.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/05/11000081/-leiden-is-lijden-memimpin-itu-menderita

Terkini Lainnya

Tanggal 16 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 16 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Nasional
KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

Nasional
Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Nasional
Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Nasional
BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

Nasional
Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke