JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, Lukas Enembe dan tim penasihat hukumnya telah putus asa untuk membuat pembelaan dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Gubernur Papua itu.
Hal ini disampaikan jaksa KPK Yoga Pratomo dalam replik atau tanggapan terhadap nota pembelaan atau pleidoi yang telah disampaikan oleh Lukas Enembe dan tim penasihat hukumnya, Kamis 21 September lalu.
Dalam nota pembelaannya, Lukas Enembe menuding KPK hanya mencari-cari kesalahannya dan tidak bisa membuktikan dugaan suap dan gratifikasi sebagaimana dakwaan yang menjeratnya.
Baca juga: KPK Duga Lukas Enembe Tempatkan Uang Panas di Perusahaan Penerbangan
Setali tiga uang, tim penasihat hukum Lukas Enembe pun menilai, tuntutan jaksa Komisi Antirasuah sangat sadis terhadap Gubernur Papua dua periode itu.
Bahkan, kubu Lukas Enembe menanggap nota pembelaannya hanya akan sia-sia.
“Penasihat Hukum berperilaku playing victim dengan mempertanyakan apakah nota pembelaannya masih diperlukan, karena hakim telah terpenjara oleh opini dan pressure dari KPK. Tuduhan yang disampaikan oleh penasihat hukum tersebut sangatlah tidak beralasan,” kata Jaksa Yoga dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
“Penasihat Hukum justru nampak telah patah arang dalam menangani perkara ini. Apakah karena tidak ada celah lagi untuk membela kliennya?” ujar jaksa KPK.
Jaksa Komisi Antirasuah itu pun menyayangkan keraguan kubu Lukas Enembe terhadap sidang yang dipimpin oleh Rianto Adam Pontoh selaku Ketua Majelis Hakim.
Baca juga: Dalam Pleidoinya, Lukas Enembe Singung Kasus Eks Penyidik KPK dan Pungli di Rutan
Menurut jaksa KPK, majelis hakim merupakan wakil Tuhan di muka bumi yang akan mengadili seseorang berdasarkan pertimbangan hukum dan bukti yang kuat di persidangan.
“Sudah tentu hakim yang menangani perkara ini telah memiliki pengalaman, mental yang kuat, bahkan pengetahuan yang mumpuni untuk dapat menilai fakta-fakta sidang, serta bukti bukti yang dihadirkan, untuk dijadikan pertimbangan dalam menyusun putusan yang bersukma kebenaran dan keadilan,” kata jaksa.
Dalam nota pembelaannya, Enembe menuding KPK mencari-cari kesalahannya di tengah upaya membangun Provinsi Papua.
Hal itu disampaikan Lukas dalam nota pembelaan pribadi yang diabacakan kuasa hukumnya, Petrus Bala Pattyona.
Dalam pleidoinya, Lukas mengatakan bahwa dalam periode pertama memimpin bersama Wakil Gubernur Klemen Tinal dirinya telah menghasilkan pembangunan nyata di Papua seperti Gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), Kantor Gubernur, Jembatan Merah, Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kantor Samsat, dan Stadion Lukas Enembe tempat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON).
Selain itu, pembangunan sumber saya manusia (SDM) dengan memberikan beasiswa, baik di dalam negeri maupun keluar negeri.
“Seiring berkembangnya pembangunan di Tanah Papua, KPK mulai mencari-cari kesalahan saya dengan mencari informasi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi dan melakukan tindakan penggeledahan di Kantor Gubernur pada tanggal 2 Februari 2017, namun tidak ditemukan adanya Korupsi,” kata Lukas Enembe, Kamis lalu.
Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Lukas Enembe dipidana selama 10 tahun dan enam bulan penjara.
Ia dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi ketika dirinya menjabat sebagai Gubernur Papua 2013-2023.
Baca juga: Lukas Enembe Bilang KPK Cari-cari Kesalahannya, Sebut OTT yang Gagal
Jaksa KPK menilai Lukas Enembe terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Selain pidana badan, Gubernur Papua dua periode itu juga dijatuhi pidana denda sejumlah Rp 1 miliar.
Lukas Enembe juga dijatuhi pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 47.833.485.350.
Dalam perkara ini, Gubernur Papua dua periode itu dinilai terbukti menerima suap dengan total Rp 45,8 miliar dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.