Awal 2005, saat mendampingi Presiden RI ke V Megawati Soekarnoputri untuk kunjungan ke Solo, saya melihat wajah kebingungan dari Ketua Umum PDIP tersebut.
Megawati yang biasanya menemui calon-calon kepala daerah yang tegap, “berisi” dan parlente kali ini terperanjat menjumpai Joko Widodo di Bandara Adi Sumarmo, Boyolali yang terlihat kurus dan “kurang” meyakinkan.
Rekomendasi dari PDIP untuk mencalonkan Jokowi – FX Hadi Rudyatmo diteken Megawati dan Megawati ikut berkampanye di Solo dengan all out.
Saya menjadi saksi karena ikut mendampingi kampanye Megawati ke Pasar Gede dan Laweyan bagi Jokowi – FX Hadi Rudyatmo.
Di Pilwali Solo 2005, PDIP yang mengusung Jokowi – FX Rudy meraih 36,62 persen. Pasangan lain yang maju seperti Achmad Purnomo – Istar Yuliadi (PAN) mendapat 29,08 persen, Hardono – Dipokusumo (Golkar, Demokrat dan PKS) meraup 29 persen serta Slamet Suryanto – Hengky Nartosabdo (koalisi partai-partai kecil) memperoleh 5,29 persen.
Kali pertama di kancah politik, Jokowi menjadi Wali Kota Solo.
Di Pilwali Solo 2010, yang hanya diikuti dua pasangan calon, PDIP tetap konsisten mendukung Jokowi – FX Rudy.
Koalisi Jokowi - FX Rudy dikeroyok partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar dan Hanura yang mengusung Eddy Wirabhumi – Supriadi Kertamenawi. Jokowi tetap unggul dengan kemenangan 90,09 persen dibandingkan 9,91 persen.
Ketika sebagian besar elite PDIP termasuk suami Megawati, mendiang Taufiq Kiemas mendukung tampilnya Fauzi Bowo untuk masa jabatan ke dua, asalkan disandingkan dengan fungsionaris PDIP, Mayjen TNI (Purn) Adang Ruchiatna di Pilkada DKI Jakarta 2012, Megawati malah memilih cara lain.
Megawati menarik Jokowi dari Solo dan berpasangan dengan Ahok. Keberuntungan Jokowi terus “moncer”, tidak saja menang di Jakarta, tetapi juga bersama dukungan PDIP terus melaju di dua kali Pilpres 2014 dan 2019.
Di masa jabatan ke dua sebagai RI-1 tahun 2020, anak tertua Jokowi disokong penuh PDIP untuk maju dan menang sebagai Wali Kota Solo. Demikian pula halnya dengan menantu Jokowi, Bobby Nasution juga melaju di Wali Kota Medan berkat PDIP.
Mendorong anak dan menantu Jokowi bukan berarti jalan “mudah” bagi PDIP. Partai ini harus “memarkirkan” kader-kadernya yang telah siap maju.
Akar rumput PDIP di Solo kecewa karena majunya Gibran berarti harus menyisihkan Achmad Purnomo. Demikian juga, sahabat saya yang sebelumnya menjabat Wakil Wali Kota Medan, Ahyar Nasution yang kader “lawas” justru tersingkir.
Relasi Megawati dengan Jokowi tetap terjalin mesra walau banyak pihak menganggap ada “riak-riak” dalam hubungan ke duanya. Megawati begitu sayang terlebih menganggap Jokowi adalah keluarganya sendiri.
Selalu memberi “karpet” merah untuk jalan politik bagi Jokowi dan keluarganya. Rasanya sulit menemukan relasi keduanya jika dipadankan dengan praktik politik yang biasa terjadi di partai-partai lain.
Masih ada partai yang selalu memberi privilege hanya pada lingkar dalam keluarga saja, bukan untuk orang “luar”.
Memahami manuver politik Jokowi terkiwari sama sulitnya dengan mencermati permainan Manchester United (MU) yang sukar ditebak. Di atas kertas MU bisa menang, nyatanya kalah. Diperkirakan pertandingan berakhir seri, ternyata MU tetap kalah.
Sebagai kader PDIP, Jokowi terkesan selalu memberi “jalan” bagi Prabowo Subianto. Bahkan dalam dua isu yang terkait dengan Prabowo, seperti peran Kementerian Pertahanan dalam proyek food estate yang dikritisi PDIP atau gosip penamparan Wakil Menteri Pertanian, Jokowi terkesan malah menjadi “juru bicara” Prabowo di hadapan media.