Salin Artikel

"Mawar" yang Tidak Buat Harum Keluarga (Besar) Kaesang

Nukilan kalimat di atas tentu bukan bagian dari script sinetron berjudul “Keluarga Cemara” yang harus dihafal oleh para pemain di layar kaca.

Rangkaian kalimat di atas adalah ucapan narasi yang muncul di tayangan video yang diunggah di akun Instagram partai @psi.id, Kamis, 21 September 2023.

Dilihat dari sosok, suara dan lagaknya, publik menduga profil “Mawar” begitu mirip dengan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo.

Usai membatalkan niatnya maju sebagai calon wali kota, Depok, Jawa Barat di Pilkada 2024, Kaesang tidak terdengar lagi kiprahnya di kancah politik.

Padahal beberapa baliho raksasa Kaesang yang disokong Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sempat “mejeng” di beberapa ruas jalan protokol di Depok.

"PSI Menang Kaesang Walikota", demikian tulisan raksasa yang menghiasi baliho adik kandung Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka itu.

Teka-teki kemana Kaesang berlabuh akhirnya terjawab usai jajaran Dewan Pembina dan Ketua Umum PSI, Giring Ganesha menyematkan kartu keanggotaan PSI kepada Kaesang di kediaman Jokowi di Sumber, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah (Sabtu, 23/09/2023).

Akhirnya Mawar dalam video unggahan akun Instragram @psi.id adalah benar Kaesang Pangarep.

Berbeda dengan ayahnya, Presiden Jokowi, kakaknya Gibran Rakabuming yang Wali Kota Solo serta Wali Kota Medan, Bobby Nasution yang juga kakak iparnya, semuanya adalah kader PDIP.

Di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP Nomor 25a, dalam satu keluarga dilarang suami istri berbeda partai.

Masuk akal dan logis jika menarik premis ini dari pernyataan salah satu Ketua PDIP Djarot Saeful Hidayat. Andai ada suami istri yang setiap malam “tidur bareng”, masak punya pandangan politik yang berbeda?

Penegakkan aturan suami istri dilarang berbeda partai, diterapkan PDIP saat mencopot Ketua DPD PDIP Maluku, Murad Ismail. Istri Murad, Widya Pratiwi maju sebagai Caleg DPR di Pemilu 2024 melalui Partai Amanat Nasional.

Bagaimana dengan Kaesang? Terlepas Kaesang telah berumahtangga dan bukan lagi menjadi “tanggungan” Jokowi, ragam partai yang ditempuh dalam satu keluarga yang memiliki “tradisi” kepartaian yang kokoh seperti di PDIP, tidak urung pilihan Kaesang menjadi “Mawar” tetaplah tidak elok.

Jokowi boleh berkilah bahwa Kaesang telah mandiri dan telah berkeluarga sendiri sehingga punya kebebasan yang harus dihargai. Tetapi yang jelas, sebagian publik akan melihat sebaliknya. Tidak ada contoh yang bisa “digugu” dan “ditiru” dari keluarga Jokowi.

Jas merah

Ingatan saya seolah-olah berputar kembali dengan kisah lama, saat Jokowi berkeliling partai di seantero Solo untuk melamar maju menjadi calon wali kota Solo.

Tidak ada partai yang melirik Jokowi karena dianggapnya bukan pengusaha mebel “tajir” dan bukan keturunan ningrat sehingga partai-partai tidak yakin bisa memenangkannya (Suara.com, 12 Desember 2022).

Kebetulan PDIP yang sudah mencengkeram lama di Solo sebagai partai besar dan mempunyai tokoh yang mengakar di akar rumput, FX Hadi Rudyatmo mau berpasangan dengan Jokowi untuk maju di Pemilihan wali kota Solo 2005.

Awal 2005, saat mendampingi Presiden RI ke V Megawati Soekarnoputri untuk kunjungan ke Solo, saya melihat wajah kebingungan dari Ketua Umum PDIP tersebut.

Megawati yang biasanya menemui calon-calon kepala daerah yang tegap, “berisi” dan parlente kali ini terperanjat menjumpai Joko Widodo di Bandara Adi Sumarmo, Boyolali yang terlihat kurus dan “kurang” meyakinkan.

Rekomendasi dari PDIP untuk mencalonkan Jokowi – FX Hadi Rudyatmo diteken Megawati dan Megawati ikut berkampanye di Solo dengan all out.

Saya menjadi saksi karena ikut mendampingi kampanye Megawati ke Pasar Gede dan Laweyan bagi Jokowi – FX Hadi Rudyatmo.

Di Pilwali Solo 2005, PDIP yang mengusung Jokowi – FX Rudy meraih 36,62 persen. Pasangan lain yang maju seperti Achmad Purnomo – Istar Yuliadi (PAN) mendapat 29,08 persen, Hardono – Dipokusumo (Golkar, Demokrat dan PKS) meraup 29 persen serta Slamet Suryanto – Hengky Nartosabdo (koalisi partai-partai kecil) memperoleh 5,29 persen.

Kali pertama di kancah politik, Jokowi menjadi Wali Kota Solo.

Di Pilwali Solo 2010, yang hanya diikuti dua pasangan calon, PDIP tetap konsisten mendukung Jokowi – FX Rudy. 

Koalisi Jokowi - FX Rudy dikeroyok partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar dan Hanura yang mengusung Eddy Wirabhumi – Supriadi Kertamenawi. Jokowi tetap unggul dengan kemenangan 90,09 persen dibandingkan 9,91 persen.

Ketika sebagian besar elite PDIP termasuk suami Megawati, mendiang Taufiq Kiemas mendukung tampilnya Fauzi Bowo untuk masa jabatan ke dua, asalkan disandingkan dengan fungsionaris PDIP, Mayjen TNI (Purn) Adang Ruchiatna di Pilkada DKI Jakarta 2012, Megawati malah memilih cara lain.

Megawati menarik Jokowi dari Solo dan berpasangan dengan Ahok. Keberuntungan Jokowi terus “moncer”, tidak saja menang di Jakarta, tetapi juga bersama dukungan PDIP terus melaju di dua kali Pilpres 2014 dan 2019.

Di masa jabatan ke dua sebagai RI-1 tahun 2020, anak tertua Jokowi disokong penuh PDIP untuk maju dan menang sebagai Wali Kota Solo. Demikian pula halnya dengan menantu Jokowi, Bobby Nasution juga melaju di Wali Kota Medan berkat PDIP.

Mendorong anak dan menantu Jokowi bukan berarti jalan “mudah” bagi PDIP. Partai ini harus “memarkirkan” kader-kadernya yang telah siap maju.

Akar rumput PDIP di Solo kecewa karena majunya Gibran berarti harus menyisihkan Achmad Purnomo. Demikian juga, sahabat saya yang sebelumnya menjabat Wakil Wali Kota Medan, Ahyar Nasution yang kader “lawas” justru tersingkir.

Relasi Megawati dengan Jokowi tetap terjalin mesra walau banyak pihak menganggap ada “riak-riak” dalam hubungan ke duanya. Megawati begitu sayang terlebih menganggap Jokowi adalah keluarganya sendiri.

Selalu memberi “karpet” merah untuk jalan politik bagi Jokowi dan keluarganya. Rasanya sulit menemukan relasi keduanya jika dipadankan dengan praktik politik yang biasa terjadi di partai-partai lain.

Masih ada partai yang selalu memberi privilege hanya pada lingkar dalam keluarga saja, bukan untuk orang “luar”.

Benarkah memainkan politik “Tiki-Taka”?

Memahami manuver politik Jokowi terkiwari sama sulitnya dengan mencermati permainan Manchester United (MU) yang sukar ditebak. Di atas kertas MU bisa menang, nyatanya kalah. Diperkirakan pertandingan berakhir seri, ternyata MU tetap kalah.

Sebagai kader PDIP, Jokowi terkesan selalu memberi “jalan” bagi Prabowo Subianto. Bahkan dalam dua isu yang terkait dengan Prabowo, seperti peran Kementerian Pertahanan dalam proyek food estate yang dikritisi PDIP atau gosip penamparan Wakil Menteri Pertanian, Jokowi terkesan malah menjadi “juru bicara” Prabowo di hadapan media.

Jokowi juga terkesan ikut “cawe-cawe” dalam hal manuver partai-partai mencari koalisi. Tanpa tedeng aling-aling, Jokowi mengakui kalau dirinya memegang data “rahasia” partai-partai.

Publik menganggap Jokowi membuka peluang yang sama, baik untuk Prabowo maupun Ganjar Pranowo. Gesture Jokowi begitu berpihak kepada Erick Thohir maupun Sandiaga Uno sebagai Cawapres dari Prabowo maupun Ganjar.

Membaca “pergerakan” Jokowi terlihat ingin memberi “saham” kebaikan kepada partai-partai. Belum lagi arah dan gerakan berbagai sayap relawan yang ikut andil memenangkannya, sepertinya akan dikendalikan di masa “injury time”.

Terminologi “mesin boleh dipanaskan”, tetapi “kendaraan jangan dijalankan” ibaratnya seperti komando Jokowi yang bisa dimainkan pada waktu menjelang pendaftaran capres-cawapres.

Pembiaran Jokowi walau dengan dalih Kaesang sudah dewasa dan mandiri serta memiliki kebebasan menentukan langkah hidupnya begitu mengingkari “kebaikan” dan “ketulusan” PDIP yang menyokongnya selama ini.

Menjadi kebingungan di publik ketika masa kempanye nanti tiba. Jika Jokowi beserta Gibran dan Bobby mendukung Ganjar, maka Kaesang sesuai kecenderungan politik PSI terbaru, tentu akan mengampanyekan Prabowo.

Jika alasan Kaesang bergabung ke PSI adalah sesuai harapannya agar anak-anak muda bisa terlibat di sektor publik dan menjadi obyek aktif, tampaknya menjadi alasan yang tidak berdasar.

Harusnya Kaesang bisa melihat pengalaman kakak kandung dan kakak iparnya yang sukses berkiprah di politik terlebih dahulu, yang mengikuti jejak pilihan ayak kandungnya. Mereka semua didukung PDIP dalam usia-usia muda.

Kaesang tidak sadar, kehadirannya justru memberikan nilai elektoral bagi PSI sementara PSI tidak memberikan nilai elektoral bagi Kaesang. Di Pemilu 2019 lalu, PSI hanya meraup 2,6 juta suara atau 1,85 persen suara sah nasional.

Hasil berbagai survei oleh sejumlah lembaga survei, PSI diprediksikan masih kesulitan untuk memenuhi ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Litbang Kompas yang mengadakan survei di periode 27 Juli – 7 Agustus 2023, memperikirakan PSI hanya meraih 0,8 persen (Kompas.com, 24 Agustus 2023).

Indonesia Polling Stations yang menghelat survei terbaru periode 5 – 15 September 2023 membeberkan PSI mendapat elektabilitas 3,2 persen (Detik.com, 22 September 2023).

Ataukah Kaesang sedang dipersiapkan meniti karier politiknya melalui jalur non – PDIP untuk diversikasi politik keluarga Jokowi?

Siapkan Kaesang menggantikan Giring Ganesha yang berencana mundur dari ketua umum PSI? Apakah suara relawan-relawan Jokowi akan terformalkan dalam “baju” PSI nantinya sebagai kendaraan politik Jokowi ke depannya?

Tampaknya masyarakat awam yang mungkin sebagian pernah merasakan pisang nugget “Sang Pisang”, rice bowl “Mangkok Ku”, seduhan kopi “Ternak Kopi”, keripik “Kemripik” atau menjajal start up “Madhang” – beberapa usaha Kaesang yang diantaranya banyak yang tutup – akan menjadi saksi munculnya rising star baru di Keluarga Presiden Jokowi.

“Menjadi pemimpin itu menderita, bukan ajang untuk berpesta pora. Kekuasaan tidak bisa dipandang dari satu sisi yang baik saja. Kekuasaan menjadi jalan untuk melayani masyarakat, alih-alih digunakan untuk berpesta pora dan semena-mena. Jangan silau dengan jabatan yang diemban sang ayah.” – pesan Ganjar Pranowo untuk putranya, Muhammad Zinedine Alam Ganjar.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/24/07025151/mawar-yang-tidak-buat-harum-keluarga-besar-kaesang

Terkini Lainnya

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke