Pemerintah melalui BP Batam tidak bisa main seruduk terhadap masyarakat di Pulau Rempang sekalipun statusnya adalah PSN, karena Indonesia bukanlah China, misalnya.
Meskipun calon investornya dari China, tidak ada alasan bagi pemerintah bertindak seperti pemerintahan daerah di China saat melakukan pembebasan lahan.
Di China, status lahan adalah milik negara, kecuali lahan-lahan di desa yang status kepemilikannya bersifat kolektif.
Lalu pemerintah pusat di Beijing mendelegasikan kekuasan pemberian konsesi lahan kepada swasta via pemerintahan daerah.
Atas nama pertumbuhan ekonomi (investasi) dan pendapatan daerah, pemerintah provinsi di China berlomba-lomba memberikan konsesi lahan kepada pihak swasta.
Walhasil, penggusuran dan relokasi menjadi pemandangan biasa di China sejak era keterbukaan ekonomi pada 1978 lalu.
Sehingga tidak heran, demonstrasi terkait isu pengusiran/penggusuran penduduk di lahan yang akan dikonsesikan kepada pihak swasta menjadi salah satu jenis demontrasi yang paling sering terjadi di China.
Gemanya memang tidak terlalu luas, karena skala demonstrasi dan penolakannya bersifat lokal di satu sisi dan juga karena otot politik partai dan pemerintahan China dalam mengontrol pemberitaan sangatlah kuat.
Di tataran teknis, demonstrasi biasanya juga dibungkam sedemikian rupa, agar tidak melebar dan berkembang terlalu luas.
Pun di negara tetangga terdekat dengan Pulau Rempang, yaitu Singapura, UU Land Acquisition tahun 1957 sebenarnya juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengakuisisi lahan masyarakat atas nama kepentingan publik, tapi harus dilakukan secara hati-hati dan dengan harga yang telah disepakati.
Kepentingan publik tersebut adalah penataan kota (urban development) dan perumahan rakyat (public housing) yang dijalankan oleh "Development and Housing Board" (Badan Pembangunan dan Perumahan) Singapura.
Tentu tidak ada yang bisa menolak masalah perumahan rakyat sebagai masalah strategis di Singapura. Apalagi, negara kecil ini hanya memiliki segelintir lahan, sehingga harus diatur secara jelas dan tegas terkait lahan dan penggunaannya.
Atas upaya tersebut, hasilnya justru sangat memuaskan. Singapura kini adalah negara kota dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi di dunia, yakni mencapai 91 persen.
Lantas apakah Proyek Eco City Rempang benar-benar masalah strategis nasional (kepentingan publik yang mendesak), yang harus dieksekusi secepat-cepatnya, setara dengan masalah ketahanan pangan (food security), masalah pertahanan negara (national defense), masalah ketahanan energi (energy security), masalah transportasi fundamental, masalah penjagaan "critical mineral" nasional, dan sejenisnya? Jika tidak cepat, akan berisiko membahayakan negara?
Rasanya tidak sestrategis itu, alias tidak mengandung bahaya apa-apa bagi Indonesia, jika dilaksanakan secara pelan-pelan dan hati-hati alias tidak grasah-grusuh. Karena itu, saya kira, proyek Eco City Rempang tidaklah perlu dilakukan secara grasah-grusuh.
Apalagi, sikap "kasar" dan "cepat" pemerintah tersebut sangat ironi dengan masalah strategis yang sebenarnya.
Bayangkan saja, masalah "food estates" yang terkait langsung dengan "food security" justru disia-siakan. Namun saat proyek Eco City Rempang mencuat, pemerintah melalui BP Batam langsung main "gebuk" seperti "debt collector" menagih utang.
Untuk itu, apapun teori pemerintah soal kisruh di Rempang tersebut, kepentingan semua pihak haruslah terlebih dahulu didengarkan dan diwakili, sekecil apapun jumlahnya.
Pasalnya, relokasi dan penggusuran bukan hanya soal akuisisi lahan, tapi juga soal hidup, penghidupan, harga diri, dan identitas bagi mereka yang telah tinggal di sana secara turun temurun.
Kedua, penolakan publik di Rempang boleh jadi karena gagalnya komunikasi pemerintah dalam menghadirkan persepsi positif atas PSN yang akan dihadirkan kepada masyarakat.
Dengan kata lain, jika penolakan terjadi secara masif di saat eksekusi dilakukan, sebagaimana yang telah terjadi, maka hal itu mengindikasikan adanya persoalan yang belum disepakati.