Artinya apa? Artinya komunikasi belum berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyak pihak yang belum terwakili dan belum didengarkan. Dan lainnya, masih banyak tugas dan pekerjaan rumah bagi BP Batam, sebelum masuk kepada fase eksekusi relokasi dan sejenisnya.
Ketiga, masyarakat setempat memang tidak banyak dilibatkan, mulai dari perencanaan sampai pada realisasinya. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena sifatnya PSN, yang kadang cenderung diputuskan secara sepihak dan kesannya juga ‘secara suka-suka’ oleh pusat.
Dan keempat, boleh jadi masyarakat, terutama masyarakat setempat, memang tidak melihat prospek positif dari PSN tersebut atas kehidupan mereka.
PSN di sana dianggap hanya mainan segelintir elite ekonomi politik, mulai dari lokal, nasional, dan global, yang manfaatnya paling banyak hanya akan dinikmati oleh jejaring elite tersebut, ketimbang oleh masyarakat setempat.
Toh dari semula sudah terbukti, pemerintah via BP Batam justru berniat merelokasi masyarakat di kampung-kampung tua, yang semestinya bisa menjadi aset wisata "heritage" di Eco City nantinya.
Tak salah masyarakat setempat jika membaca tindakan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Bukankah melibatkan kampung-kampung tua tersebut sebagai bagian dari PSN Eco City Rempang akan jauh lebih baik dan jelas-jelas akan memberdayakan mereka dalam konteks pengembangan komunitas, ketimbang menggusur dan merelokasi.
Pendeknya, mempertahankan keberadaan Kampung Tua dan memberdayakan semua penduduk yang terkait dengan eksistensi kampung tua tersebut adalah langkah penyelesaian sengketa terbaik, karena jauh lebih bijak dan adil, ketimbang "menggasak" dan "merelokasi" secara paksa.
Dari cerita di atas, jelas bahwa penggusuran di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia.
Dalam UUD 1945 disebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Alih-alih melindungi, atas nama investasi dan PSN, negara justru terkesan melukai rasa keadilan masyarakat Pulau Rempang.
Selain itu, negara juga dinilai gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis yang ada di balik proyek Eco-city seluas 17.000 hektar.
Atas nama investasi dan proyek strategis, pemerintah semakin menunjukkan karakter State Based Governance-nya dalam menjalankan kebijakan di satu sisi dan menonjolkan orientasi Market Based Governance di sisi lain.
Sementara kepentingan masyarakat entah ditempatkan di urutan keberapa. Padahal, karakter Society Based Governance semestinya menjadi tampak depan dari setiap tindakan pemerintah, di mana kepentingan rakyat dijadikan pertimbangan utama.
Sehingga dengan begitu, setiap protes dan konflik mau tak mau harus diredam dengan pendekatan yang humanis dan partisipatoris, bukan dengan pendekatan represif ala "negara aparat".
Sementara itu, mekanisme mitigasi konflik semestinya menggunakan mekanisme penyelesaian konflik yang merujuk kepada kebiasaan dan budaya masyarakat setempat (local wisdom).
Hal tersebut sangat diperlukan, agar ruang publik di daerah di mana PSN akan dilangsungkan bisa menjadi ruang untuk saling membangun kesamaan persepsi, kesamaan kepentingan, dan memupuk kebersamaan antara pemerintah dan rakyat.
Bukan malah sebaliknya, yakni menjadi ruang untuk unjuk keperkasaan dan keberingasan kekuasaan negara di hadapan rakyat yang sudah semakin tak berdaya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.