Dengan melihat perkembangan naik turunnya elektoral para kandidat capres – cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2024, tampaknya pasangan Sandiaga Uno – AHY memiliki prospek “suram” jika dikompetisikan dengan Prabowo, Ganjar bahkan Anies sekalipun.
Belum lagi jika nama-nama cawapres dari Prabowo atau Ganjar sudah diumumkan, maka pasangan Sandiaga – Uno tampaknya kurang “seksi” dan kurang laku di pasar pemilih.
Usai skenario pertama, yakni tetap bertahan dalam koalisi pengusung Anies – Cak Imin dan skenario ke dua dengan membentuk poros baru, PKS bisa mempertimbangkan skenario ke tiga, yakni memilih bersatu dengan pengusung Prabowo.
Bagi PKS, berjuang bersama Gerindra bukan hal baru. Selama dua kali gelaran Pilpres pada 2014 dan 2019, PKS tetap bertahan bersama Gerindra mengusung Prabowo walau akhirnya “keok”.
Ibarat “colong playu tinggal gelanggang”, Gerindra pergi meninggalkan PKS usai Prabowo memutuskan memilih bergabung dengan Jokowi pasca-Pilpres 2019, sementara PKS tetap “puasa” menggenapkan satu dekade sebagai oposisi.
Bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju bersama Golkar, PAN, Partai Bulang Bintang, Partai Garuda, Partai Gelora serta Partai Aceh, sebetulnya PKS masih memiliki ganjalan politik.
Seperti diketahui, Partai Gelora adalah sempalan dari PKS yang memilih berseberangan dengan membentuk kendaraan politik baru.
Gelora berintikan mantan elite-elite PKS yang merasa “terbuang” di PKS. Fungsionaris Gelora seperti Anis Mata dan Fahri Hamzah begitu berseberangan dengan para elite PKS sekarang ini.
Prabowo tentu tidak ingin masuknya PKS hanya membuat persoalan baru di tubuh koalisi. Bergabungnya Golkar dan PAN sudah lebih dari cukup sehingga tanpa masuknya PKS juga tidak menjadi persoalan.
Skenario ke tiga yang bisa dijajal PKS adalah bergabung bersama PDIP, PPP, Hanura dan Perindo untuk mendukung Ganjar Pranowo. Walau terbilang “mustahil”, tetapi dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin.
Hanya saja handicap dari skenario ke empat ini terbilang cukup rumit mengingat selama ini beredar anggapan relasi antara PDIP dengan PKS ibarat air dengan minyak yang sulit untuk bersatu.
Padahal di berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah, antara PDIP dan PKS bahu membahu untuk kemenangan calon kepala daerah yang didukung bersama.
Dari catatan Nusakom Pratama Institut, PKS adalah partai yang paling sedikit diajak koalisi oleh PDIP selama Pilkada 2020, yakni di 13 daerah.
Sebaliknya, PDIP paling banyak berkoalisi dengan Golkar di 46 daerah. Lalu dengan PKB di 37 daerah, dengan PAN di 34 daerah, dengan Gerindra di 33 daerah, dengan Demokrat di 32 daerah, serta dengan PPP di 19 daerah.
Jika preferensinya ingin menang – tentu dengan merujuk hasil-hasil survei serta monitoring di lapangan langsung – PKS tinggal memiliki dua pilihan yang paling rasional, yaitu bergabung dengan Prabowo atau memilih bersatu dengan Ganjar!
Tampaknya dalam beberapa hari mendatang, langkah strategis PKS yang akan ditempuh pascadeklarasi Anies – Cak Imin ditentukan melalui musyawarah Majelis Syuro PKS kembali.
“Hubungan tanpa status seperti mengendarai mobil tanpa sabuk pengaman. Rasanya aneh dan bisa berakibat fatal jika terlanjur berjalan kencang, lalu berhenti mendadak”. - Hilbram Dunar (2018) dalam buku “Cinta itu Motivasi”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.