Sesuai dengan amanat Majelis Syuro PKS, hingga saat ini sikap politik PKS masih tetap mendukung pencalonan Anies Baswedan di Pilpres 2024.
Hanya saja masuknya nama Cak Imin dan PKB tentu tidak masuk dalam “hitung-hitungan” PKS ketika memutuskan masuk dalam koalisi bersama Nasdem dan Demokrat pada Desember 2022.
Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi berada di luar gelanggang kekuasaan usai menikmati “manisnya” 10 tahun bersama Demokrat dalam era Presiden SBY, membuat PKS tetap mempertahankan strategi partainya sebagai oposisi kekuasaan yang “berbau” Jokowi.
Keputusan PKS melabuhkan pilihan politiknya dengan mendukung Anies Baswedan tidak terlepas dari positioning partai untuk tetap berada di kelompok antitesa Jokowi. Anies memang disimbolkan sebagai tokoh yang bertolak belakang dengan Jokowi.
Dari tiga kali survei yang dilakukan Tim Litbang Kompas, langkah PKS mendukung Anies Baswedan ternyata tidak mendapatkan dampak dari efek ekor jas.
Raihan elektabilitas PKS dalam survei Mei 2023, hanya menyentuh angka 3,8 persen atau turun 1,0 persen dari triwulan sebelumnya. Angka elektabilitas 3,8 persen tersebut identik dengan Oktober 2019 (Kompas.tv, 23 Mei 2023).
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terbaru membuat PKS agak bernapas lega. Dari periode awal Agustus 2023, PKS memiliki elektabilitas 5,2 persen. Hasil ini pun sebetulnya mengalami penurunan dibanding hasil survei setahun sebelumnya, yakni 6 persen.
Memang angka-angka hasil survei tidak menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan reposisi politik PKS. Paling tidak, hasil survei bisa dijadikan sebagai salah satu parameter dalam penentuan kebijakan strategis yang akan ditempuh partai.
PKS harus mencermati hasil-hasil survei pascadeklarasi Anies-Cak Imin, apakah naiknya pasangan tersebut memberikan dampak elektoral kepada PKS atau sebaliknya.
Untuk melakukan reposisi politik, PKS seperti mengalami dilema: apakah tetap bertahan di koalisi pendukung Anies ataukah keluar bergabung dengan koalisi penyokong Prabowo?
Apakah merapatkan barisan ke pendukung Ganjar atau bahkan membentuk koalisi baru?
Tujuan dari bergabungnya partai dalam koalisi adalah memaksimalkan potensi kemenangan dalam Pilpres. Tidak mungkin partai bergabung di koalisi hanya mencari kekalahan.
Menjadi partai di luar kekuasaan rezim yang berkuasa adalah perjuangan “berat”. Bahkan dikenal sebutan “puasa” ketika partai hanya menjadi oposisi di suatu rezim yang kuat mencengkeram parlemen.
Menjadi oposisi selama satu dekade pemerintahan Jokowi harusnya menjadi dasar pijakan bagi PKS untuk melakukan reposisi saat ini. Bertahan di Koalisi Perubahan dengan peran yang termarginalkan atau mencoba langkah politik baru.
Harus diakui, usai deklarasi Anies – Cak Imin, terasa betul peran PKS begitu dinihilkan dari hari ke hari.
Persoalan lebih mendasar lagi, andai PKS tetap bertahan mengusung Anies – Cak Imin, maka di lapangan akan terjadi “korslet” di antara basis massa PKS dengan PKB. Spektrum pendukung ke dua partai sangat bertolak belakang.
Wacana menduetkan Sandiaga Uno dengan Agus Harimurti Yudhoyono memang tengah dilakukan sebagian pihak sebagai antisipasi jika nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersebut tidak jadi disandingkan dengan Ganjar Pranowo.
Seperti yang disampaikan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono beberapa hari lalu, ada menteri di kabinet Jokowi yang membuka kontak untuk kemungkinan terjadinya koalisi antara Demokrat, PKS dan PPP.