Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Akankah PKS Tetap Jadi Pelengkap Koalisi "Sebastian"?

Kompas.com - 08/09/2023, 08:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kita hanyalah sebastian, sebatas teman tanpa kepastian. Saling suka tapi sayang tak jelas arahnya”. - Prilly Latuconsina.

MEMINJAM istilah Prilly sang pelaku seni, akronim “Sebastian” atau "Sebatas Teman Tanpa Kepastian" sepertinya pantas disematkan kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ini.

Awalnya tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan bersama Nasdem dan PKB, tetapi akhir-akhir ini posisi politiknya semakin tidak jelas.

Terbaru, gelar acara istiqhosah dan doa bersama untuk Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diselenggarakan di Pendopo Pulo Nangka, Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis, 7 September 2023, PKS tidak dilibatkan dalam acara ini.

Di panggung acara, hanya tampak logo Partai Nasdem dan PKB serta foto pasangan Anies – Cak Imin (Amin), sementara logo PKS “lenyap” dari perhelatan ini (Detik.com, 07 September 2023).

Menurut Ketua DPW PKB DKI Jakarta, Hasbiallah Ilyas, pihaknya sudah menghubungi jajaran PKS DKI, namun tidak mendapat respons sama sekali.

Jika di level daerah saja seperti Jakarta PKS tidak dianggap, maka idem ditto dengan di level “atas”. Sejak deklarasi Anies-Cak Imin dihelat di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu, 2 September, tidak ada satupun elite PKS menghadiri pesta “bersatunya” Nasdem dan PKB.

Tidak ada bendara atau logo PKS di sekitaran Hotel Majapahit tempat acara deklarasi diadakan.

Pasangan Anies Baswedan (kiri)-Muhaimin Iskandar (kanan) bersama Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (tengah) ketika deklarasi bakal capres-cawapres dalam Pilpres 2024 di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/9/2023).Facebook Anies Baswedan Pasangan Anies Baswedan (kiri)-Muhaimin Iskandar (kanan) bersama Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (tengah) ketika deklarasi bakal capres-cawapres dalam Pilpres 2024 di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/9/2023).
Berbeda dengan Demokrat yang memilih “hengkang” dari Koalisi Perubahan karena menilai terpilihnya Cak Imin sebagai pendamping Anies tidak melalui mekanisme dan komunikasi yang tepat, PKS hanya menganggap masuknya PKB ke dalam koalisi berlangsung tidak “smooth”.

Dalam rapat konsolidasi pemenangan bakal pasangan Anies Baswedan – Cak Imin di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta, Rabu (6/9/2023), elite-elite PKS kembali “absen”.

Rapat yang menentukan tim pemenangan antara PKB dengan Nasdem sudah menyiapkan template tim pemenangan. Jika nantinya PKS ingin bergabung, maka tinggal mengisikan nama-nama personelnya.

Melihat narasi dari para elite Nasdem dan PKB yang tersurat maupun tersirat, tampaknya memang PKS benar-benar diperlakukan seperti analogi yang dikemukakan Prilly Latuconsina.

Sebastian atau sebatas teman tanpa kepastian, ibaratnya mau lanjut di koalisi silahkan dan mau cabut dari koalisi juga silahkan.

Harus diakui, masuknya “tamu baru“ dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan memang menimbulkan dilema.

Nasdem mengajak PKB masuk ke dalam koalisi tentu dengan pertimbangan matang. Kalkulasi teknis dan kalkulasi politis, pasti sudah dihitung dengan cermat oleh Surya Paloh.

Kalkulasi teknis tentu memperhitungkan jika pada akhirnya di koalisi hanya tersisa Nasdem dan PKB, maka harus dipastikan kumulatif gabungan Nasdem dan PKB memenuhi persyaratan pengajuan pasangan capres – cawapres di Pilpres 2024.

Sementara dari kalkulasi politis, elite-elite Nasdem pasti juga sudah menghitung potensi “turbulensi” di dalam koalisi – seperti yang disebut elite PKS berlangsung tidak smooth – yakni kemungkinan Demokrat atau PKS hengkang dari koalisi.

Dan ternyata betul, Demokrat langsung memilih keluar dari barisan pengusung Anies – Cak Imin, sementara PKS mencoba tetap bertahan di tengah ketidakpastian.

Perlukah PKS melakukan reposisi politik?

Sesuai dengan amanat Majelis Syuro PKS, hingga saat ini sikap politik PKS masih tetap mendukung pencalonan Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Hanya saja masuknya nama Cak Imin dan PKB tentu tidak masuk dalam “hitung-hitungan” PKS ketika memutuskan masuk dalam koalisi bersama Nasdem dan Demokrat pada Desember 2022.

Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi berada di luar gelanggang kekuasaan usai menikmati “manisnya” 10 tahun bersama Demokrat dalam era Presiden SBY, membuat PKS tetap mempertahankan strategi partainya sebagai oposisi kekuasaan yang “berbau” Jokowi.

Keputusan PKS melabuhkan pilihan politiknya dengan mendukung Anies Baswedan tidak terlepas dari positioning partai untuk tetap berada di kelompok antitesa Jokowi. Anies memang disimbolkan sebagai tokoh yang bertolak belakang dengan Jokowi.

Dari tiga kali survei yang dilakukan Tim Litbang Kompas, langkah PKS mendukung Anies Baswedan ternyata tidak mendapatkan dampak dari efek ekor jas.

Raihan elektabilitas PKS dalam survei Mei 2023, hanya menyentuh angka 3,8 persen atau turun 1,0 persen dari triwulan sebelumnya. Angka elektabilitas 3,8 persen tersebut identik dengan Oktober 2019 (Kompas.tv, 23 Mei 2023).

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terbaru membuat PKS agak bernapas lega. Dari periode awal Agustus 2023, PKS memiliki elektabilitas 5,2 persen. Hasil ini pun sebetulnya mengalami penurunan dibanding hasil survei setahun sebelumnya, yakni 6 persen.

Memang angka-angka hasil survei tidak menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan reposisi politik PKS. Paling tidak, hasil survei bisa dijadikan sebagai salah satu parameter dalam penentuan kebijakan strategis yang akan ditempuh partai.

PKS harus mencermati hasil-hasil survei pascadeklarasi Anies-Cak Imin, apakah naiknya pasangan tersebut memberikan dampak elektoral kepada PKS atau sebaliknya.

Untuk melakukan reposisi politik, PKS seperti mengalami dilema: apakah tetap bertahan di koalisi pendukung Anies ataukah keluar bergabung dengan koalisi penyokong Prabowo?

Apakah merapatkan barisan ke pendukung Ganjar atau bahkan membentuk koalisi baru?

Skenario exit plan bagi PKS

Tujuan dari bergabungnya partai dalam koalisi adalah memaksimalkan potensi kemenangan dalam Pilpres. Tidak mungkin partai bergabung di koalisi hanya mencari kekalahan.

Menjadi partai di luar kekuasaan rezim yang berkuasa adalah perjuangan “berat”. Bahkan dikenal sebutan “puasa” ketika partai hanya menjadi oposisi di suatu rezim yang kuat mencengkeram parlemen.

Menjadi oposisi selama satu dekade pemerintahan Jokowi harusnya menjadi dasar pijakan bagi PKS untuk melakukan reposisi saat ini. Bertahan di Koalisi Perubahan dengan peran yang termarginalkan atau mencoba langkah politik baru.

Harus diakui, usai deklarasi Anies – Cak Imin, terasa betul peran PKS begitu dinihilkan dari hari ke hari.

Persoalan lebih mendasar lagi, andai PKS tetap bertahan mengusung Anies – Cak Imin, maka di lapangan akan terjadi “korslet” di antara basis massa PKS dengan PKB. Spektrum pendukung ke dua partai sangat bertolak belakang.

Wacana menduetkan Sandiaga Uno dengan Agus Harimurti Yudhoyono memang tengah dilakukan sebagian pihak sebagai antisipasi jika nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersebut tidak jadi disandingkan dengan Ganjar Pranowo.

Seperti yang disampaikan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono beberapa hari lalu, ada menteri di kabinet Jokowi yang membuka kontak untuk kemungkinan terjadinya koalisi antara Demokrat, PKS dan PPP.

Dengan melihat perkembangan naik turunnya elektoral para kandidat capres – cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2024, tampaknya pasangan Sandiaga Uno – AHY memiliki prospek “suram” jika dikompetisikan dengan Prabowo, Ganjar bahkan Anies sekalipun.

Belum lagi jika nama-nama cawapres dari Prabowo atau Ganjar sudah diumumkan, maka pasangan Sandiaga – Uno tampaknya kurang “seksi” dan kurang laku di pasar pemilih.

Usai skenario pertama, yakni tetap bertahan dalam koalisi pengusung Anies – Cak Imin dan skenario ke dua dengan membentuk poros baru, PKS bisa mempertimbangkan skenario ke tiga, yakni memilih bersatu dengan pengusung Prabowo.

Bagi PKS, berjuang bersama Gerindra bukan hal baru. Selama dua kali gelaran Pilpres pada 2014 dan 2019, PKS tetap bertahan bersama Gerindra mengusung Prabowo walau akhirnya “keok”.

Ibarat “colong playu tinggal gelanggang”, Gerindra pergi meninggalkan PKS usai Prabowo memutuskan memilih bergabung dengan Jokowi pasca-Pilpres 2019, sementara PKS tetap “puasa” menggenapkan satu dekade sebagai oposisi.

Bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju bersama Golkar, PAN, Partai Bulang Bintang, Partai Garuda, Partai Gelora serta Partai Aceh, sebetulnya PKS masih memiliki ganjalan politik.

Seperti diketahui, Partai Gelora adalah sempalan dari PKS yang memilih berseberangan dengan membentuk kendaraan politik baru.

Gelora berintikan mantan elite-elite PKS yang merasa “terbuang” di PKS. Fungsionaris Gelora seperti Anis Mata dan Fahri Hamzah begitu berseberangan dengan para elite PKS sekarang ini.

Prabowo tentu tidak ingin masuknya PKS hanya membuat persoalan baru di tubuh koalisi. Bergabungnya Golkar dan PAN sudah lebih dari cukup sehingga tanpa masuknya PKS juga tidak menjadi persoalan.

Skenario ke tiga yang bisa dijajal PKS adalah bergabung bersama PDIP, PPP, Hanura dan Perindo untuk mendukung Ganjar Pranowo. Walau terbilang “mustahil”, tetapi dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin.

Hanya saja handicap dari skenario ke empat ini terbilang cukup rumit mengingat selama ini beredar anggapan relasi antara PDIP dengan PKS ibarat air dengan minyak yang sulit untuk bersatu.

Padahal di berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah, antara PDIP dan PKS bahu membahu untuk kemenangan calon kepala daerah yang didukung bersama.

Dari catatan Nusakom Pratama Institut, PKS adalah partai yang paling sedikit diajak koalisi oleh PDIP selama Pilkada 2020, yakni di 13 daerah.

Sebaliknya, PDIP paling banyak berkoalisi dengan Golkar di 46 daerah. Lalu dengan PKB di 37 daerah, dengan PAN di 34 daerah, dengan Gerindra di 33 daerah, dengan Demokrat di 32 daerah, serta dengan PPP di 19 daerah.

Jika preferensinya ingin menang – tentu dengan merujuk hasil-hasil survei serta monitoring di lapangan langsung – PKS tinggal memiliki dua pilihan yang paling rasional, yaitu bergabung dengan Prabowo atau memilih bersatu dengan Ganjar!

Tampaknya dalam beberapa hari mendatang, langkah strategis PKS yang akan ditempuh pascadeklarasi Anies – Cak Imin ditentukan melalui musyawarah Majelis Syuro PKS kembali.

“Hubungan tanpa status seperti mengendarai mobil tanpa sabuk pengaman. Rasanya aneh dan bisa berakibat fatal jika terlanjur berjalan kencang, lalu berhenti mendadak”. - Hilbram Dunar (2018) dalam buku “Cinta itu Motivasi”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com