Untung bagi Anies. AHY, yang hari ini berstatus sebagai "mantan gebetan" setelah gagal didaulat menjadi bakal calon wakil presiden untuk pemilihan tahun 2024 nanti oleh Anies, muncul dengan kekuatan alternatif yang membuat Pilkada DKI Jakarta akhirnya dihelat dua putaran.
AHY dan kekuatan politik yang berhasil digalang oleh Partai Demokrat membuat perhatian politik pendukung Ahok terpecah.
Bahkan bukan hanya terpecah, tapi teralihkan hampir sepenuhnya kepada kekuatan politik pendukung AHY, terutama setelah munculnya gerakan 212 di mana SBY dikabarkan banyak pengamat juga ikut berperan di belakangnya.
Ahok dan kekuasaan Istana yang membayangi perjuangan politiknya untuk menjadi DKI 1 ternyata salah fokus.
Gembar-gembor AHY yang dilingkupi gerakan 212 ternyata tak sebesar aslinya alias tidak mampu meraih angka lebih dari 20 persen. Mau tak mau membuat pasangan Anies-Sandi terbawa ikut ke putaran kedua.
Sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak, Anies-Sandi akan melenggang ke singgasana DKI Satu, karena suara dari pemilih AHY nyaris tidak mungkin beralih ke Ahok, tapi akan berlabuh kepada Anies-Sandi.
Ujung cerita Pilkada DKI Jakarta memang terbukti sebagaimana berbagai prediksi. Anies akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang kantornya tak jauh dari Istana Negara.
Hasrat Anies untuk membuktikan dirinya kepada Jokowi mencapai puncaknya di saat pandemik datang.
Sepengetahuan saya, semua langkah yang diambil Anies Baswedan sebagai Gubernur di awal masa pandemi adalah langkah yang diambil oleh Gubernur Andrew Cuomo di New York, yang kerap bertentangan atau mendahului kebijakan Presiden Donald Trump.
Pun Anies juga sama. Ia terus berusaha mendahului wacana-wacana pandemi Presiden Jokowi.
Saat awal pandemi, saya melihat betapa miripnya Anies Baswedan dengan Andrew Cuomo, baik dalam kebijakan maupun dalam konstelasi persaingan politik New York dan Gedung Putih.
Nahas bagi Andrew Cuomo, ia harus mundur dari posisi Gubernur New York hanya karena kasus pelecehan seksual, sehingga namanya yang sempat masuk nominasi calon presiden dari Partai Demokrat, hilang seketika.
Posisi Anies semakin mapan di DKI Jakarta setelah ia memilih sosok yang akan mengisi posisi wakil Gubernur yang ditinggalkan oleh Sandiaga Uno, sosok yang juga berasal dari Partai Gerindra.
Otomatis segala tindak tanduk politik dan kebijakan Anies sebagai gubernur didukung penuh oleh dua partai oposisi kala itu, yakni Partai Gerindra dan PKS.
Bahkan sempat diisukan sebelumnya bahwa Anies sangat berpotensi menjadi calon pendamping Prabowo di laga Piplres 2024. Namun situasi tersebut berubah total menjelang akhir masa jabatan Anies sebagai gubernur.
Nama Anies makin identik dengan bakal calon presiden, layaknya Ganjar Pranowo, ketimbang sebagai bakal calon wakil presiden untuk Prabowo.
Tak pelak, dinamika politik mulai menerpa hubungan Anies dan Prabowo serta Partai Gerindra. Apalagi, setelah Pilpres 2019, Partai Gerindra sudah tidak lagi sebagai partai oposisi.
Jokowi akhirnya mendaulat mantan lawan tandingnya sebagai "gebetan baru", layaknya posisi Anies rentang waktu 2013-2016.
Hubungan Anies dengan Prabowo mulai merenggang. Dan akhirnya benar-benar pecah setelah Anies dinobatkan secara resmi oleh Partai Nasdem sebagai calon presiden resmi partai beberapa waktu sebelum masa jabatan Anies sebagai gubernur DKI Jakarta berakhir.
Anies, layaknya Jokowi tahun 2014, dicap sebagai "pengkhianat" alias mengingkari jasa Prabowo Subianto yang telah menyokongnya untuk maju di Pilkada DKI Jakarta.