Salin Artikel

Anies-Muhaimin: Debut Dua "Mantan Gebetan" Prabowo yang Berjodoh karena Kegalauan

Di laga pemilihan presiden 2014 itu, Anies satu perahu besar dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yakni sama-sama menjadi pendukung Jokowi.

Anies dari barisan intelektual independen, sementara Cak Imin dari barisan partai politik. Keduanya sama-sama menjadi "gebetan" Jokowi kala itu.

Berkat perannya di dalam tim sukses Jokowi, Anies akhirnya merasakan "nikmatnya" menjadi seorang menteri di Kabinet Jilid I Jokowi, yakni Menteri Pendidikan Nasional, untuk kurun waktu sekitar satu tahunan saja.

Begitu pula Cak Imin dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), beberapa posisi menteri pernah didapat.

Namun, relasi Anies dengan Jokowi setelah Juli 2016; bulan saat berakhirnya Anies sebagai seorang menteri di jajaran kabinet Jokowi, tidak lagi bisa dibilang mesra, layaknya pada rentang waktu 2013-2016.

Baik Jokowi maupun Anies, bergeming ketika itu alias tak memberikan penjelasan tentang percopotan Anies dari posisi Mendiknas.

Tak disebutkan di mana kurangnya Anies Baswedan sebagai menteri. Pun tak ada pembelaan dan perlawanan berarti dari Anies di ruang publik kala itu.

Bahkan Anies sempat menghilang dari hiruk pikuk dunia politik, sebelum akhirnya kembali secara tiba-tiba di ajang Pilkada DKI Jakarta setahun kemudian, tahun 2017, berpasangan dengan Sandiaga Uno yang merupakan kader Partai Gerindra kala itu.

Saat masuk kembali ke dunia politik di ajang Pilkada Jakarta, Anies tentu sudah bukan lagi "gebetan" Jokowi, sementara Cak Imin masih.

Bahkan boleh dibilang, Anies sudah berubah menjadi "mantan gebetan" yang ingin menunjukkan eksistensi politiknya kepada Jokowi, pihak yang dianggap telah mencopotnya secara tiba-tiba setahun sebelumnya.

Memang Anies tidak sesumbar bahwa alasannya ikut Pilkada DKI Jakarta sebagai ajang "balas dendam" politiknya kepada Jokowi.

Namun satu hal yang jelas adalah Anies harus berhadapan dengan kandidat Gubernur yang ternyata didukung oleh Jokowi, termasuk didukung oleh Cak Imin dan PKB.

Pun kekuatan politik utama yang mendukung Anies saat itu adalah kekuatan "non Istana", selain Jusuf Kalla secara personal tentunya. Kekuatan utama tersebut adalah Prabowo Subianto dengan partainya, Partai Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Situasi tersebut mau tidak mau membawa Anies harus menempuh jalan politik yang agak sama dengan Jokowi sebelum mantan Wali Kota Solo itu menguasai Istana.

Artinya, di pelataran Pilkada DKI Jakarta itu, Prabowo Subianto berperan penting, baik bagi Jokowi maupun Anies Baswedan, karena Prabowo dan Partai Gerindra juga ikut memastikan kemenangan Jokowi - Ahok di Pilkada Jakarta pada 2012.

Perbedaannya adalah bahwa di saat Jokowi berpindah lapangan kekuasaan dari Solo ke Jakarta, Prabowo cq Partai Gerindra bekerja sama dengan PDIP dalam memenangkan Jokowi-Ahok.

Sementara saat Anies ikut dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta, Prabowo cq Partai Gerindra berlawanan dengan PDIP cs. Dan posisi Partai Gerindra saat itu masih di luar kekuasaan alias masih menjadi partai oposisi.

Nah, kekuatan politik yang mengusung tersebut akhirnya menempatkan Anies harus berhadapan secara langsung dengan kekuatan politik pendukung Jokowi yang juga sekaligus menjadi infrastruktur politik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yakni PDIP dan kawan-kawannya.

Jika saja saat itu Anies harus menghadapi Ahok secara "head to head" dalam satu putaran pemilihan, secara elektoral sangat besar kemungkinan Anies akan pulang dengan status "kalah."

Untung bagi Anies. AHY, yang hari ini berstatus sebagai "mantan gebetan" setelah gagal didaulat menjadi bakal calon wakil presiden untuk pemilihan tahun 2024 nanti oleh Anies, muncul dengan kekuatan alternatif yang membuat Pilkada DKI Jakarta akhirnya dihelat dua putaran.

AHY dan kekuatan politik yang berhasil digalang oleh Partai Demokrat membuat perhatian politik pendukung Ahok terpecah.

Bahkan bukan hanya terpecah, tapi teralihkan hampir sepenuhnya kepada kekuatan politik pendukung AHY, terutama setelah munculnya gerakan 212 di mana SBY dikabarkan banyak pengamat juga ikut berperan di belakangnya.

Ahok dan kekuasaan Istana yang membayangi perjuangan politiknya untuk menjadi DKI 1 ternyata salah fokus.

Gembar-gembor AHY yang dilingkupi gerakan 212 ternyata tak sebesar aslinya alias tidak mampu meraih angka lebih dari 20 persen. Mau tak mau membuat pasangan Anies-Sandi terbawa ikut ke putaran kedua.

Sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak, Anies-Sandi akan melenggang ke singgasana DKI Satu, karena suara dari pemilih AHY nyaris tidak mungkin beralih ke Ahok, tapi akan berlabuh kepada Anies-Sandi.

Ujung cerita Pilkada DKI Jakarta memang terbukti sebagaimana berbagai prediksi. Anies akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang kantornya tak jauh dari Istana Negara.

Hasrat Anies untuk membuktikan dirinya kepada Jokowi mencapai puncaknya di saat pandemik datang.

Sepengetahuan saya, semua langkah yang diambil Anies Baswedan sebagai Gubernur di awal masa pandemi adalah langkah yang diambil oleh Gubernur Andrew Cuomo di New York, yang kerap bertentangan atau mendahului kebijakan Presiden Donald Trump.

Pun Anies juga sama. Ia terus berusaha mendahului wacana-wacana pandemi Presiden Jokowi.

Saat awal pandemi, saya melihat betapa miripnya Anies Baswedan dengan Andrew Cuomo, baik dalam kebijakan maupun dalam konstelasi persaingan politik New York dan Gedung Putih.

Nahas bagi Andrew Cuomo, ia harus mundur dari posisi Gubernur New York hanya karena kasus pelecehan seksual, sehingga namanya yang sempat masuk nominasi calon presiden dari Partai Demokrat, hilang seketika.

Posisi Anies semakin mapan di DKI Jakarta setelah ia memilih sosok yang akan mengisi posisi wakil Gubernur yang ditinggalkan oleh Sandiaga Uno, sosok yang juga berasal dari Partai Gerindra.

Otomatis segala tindak tanduk politik dan kebijakan Anies sebagai gubernur didukung penuh oleh dua partai oposisi kala itu, yakni Partai Gerindra dan PKS.

Bahkan sempat diisukan sebelumnya bahwa Anies sangat berpotensi menjadi calon pendamping Prabowo di laga Piplres 2024. Namun situasi tersebut berubah total menjelang akhir masa jabatan Anies sebagai gubernur.

Nama Anies makin identik dengan bakal calon presiden, layaknya Ganjar Pranowo, ketimbang sebagai bakal calon wakil presiden untuk Prabowo.

Tak pelak, dinamika politik mulai menerpa hubungan Anies dan Prabowo serta Partai Gerindra. Apalagi, setelah Pilpres 2019, Partai Gerindra sudah tidak lagi sebagai partai oposisi.

Jokowi akhirnya mendaulat mantan lawan tandingnya sebagai "gebetan baru", layaknya posisi Anies rentang waktu 2013-2016.

Hubungan Anies dengan Prabowo mulai merenggang. Dan akhirnya benar-benar pecah setelah Anies dinobatkan secara resmi oleh Partai Nasdem sebagai calon presiden resmi partai beberapa waktu sebelum masa jabatan Anies sebagai gubernur DKI Jakarta berakhir.

Anies, layaknya Jokowi tahun 2014, dicap sebagai "pengkhianat" alias mengingkari jasa Prabowo Subianto yang telah menyokongnya untuk maju di Pilkada DKI Jakarta.

Cap yang melekat kepada Anies setali tiga uang dengan cap yang dilekatkan oleh para pendukung Istana kepada Surya Paloh dan Partai Nasdem.

Penyebabnya tentu saja karena Partai Nasdem dan Surya Paloh terlalu berani mencalonkan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden.

Walhasil, setelah menjadi "mantan gebetan Jokowi", Anies akhirnya juga menjadi "mantan gebetan" Prabowo. Dan kini, Anies berhadap-hadapan secara politik dengan dua mantan yang pernah menggebetnya, yakni Jokowi dan Prabowo.

Seiring dengan keretakan Anies dan Prabowo, Cak Imin justru mencoba peruntungannya dengan mendekati Prabowo Subianto.

Sejak 2022 lalu, tahun di mana masa jabatan Anies berakhir di DKI Jakarta dan berganti status menjadi "bakal calon presiden" dari Partai Nasdem, Cak Imin dan PKB justru membangun kemesraan dengan Hambalang.

Harapannya tidak sekadar dijadikan sebagai gebetan, tapi didaulat sebagai bakal calon wakil presiden oleh Prabowo untuk laga 2024.

Namun layaknya AHY, nasib Cak Imin akhirnya juga sama, yakni "digantung" bak layangan putus oleh Prabowo.

Diajak membangun sekretariat bersama agar lokasi "kencan politik" semakin jelas, tapi status Cak Imin tak jua kunjung pasti. Setahun lamanya Cak Imin "galau" karena tak jua dilamar sebagai pasangan.

Jadi di saat Anies Baswedan galau dengan bakal calon wakil presidennya, karena opsi tersisa hanya AHY yang dianggap kurang potensial secara elektoral untuk mendongkrak suara Anies di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Cak Imin pun galau dengan statusnya yang "digantung" oleh Prabowo.

Dipuji-puji di depan publik, dipeluk saat bertemu, tapi tak jua "ditembak." Tentu sudah bisa dibayangkan betapa sakitnya bagi Cak Imin berada di situasi tersebut.

Di atas kegalauan dua tokoh tersebut, ada kegalauan lain yang cukup menentukan perjodohan mereka, yakni kegalauan Surya Paloh yang secara ekonomi politik kian "tertekan".

Posisi Surya Paloh pun "gantung". Masuk barisan koalisi pendukung Jokowi di mana Partai Nasdem punya portofolio beberapa kursi di kabinet, tapi mendadak tak dianggap karena mencalonkan sepihak Anies Baswedan.

Tiga kegalauan tersebut menjadi landasan politik yang membuat Anies dan Cak Imin berjodoh. Bagi Anies, Cak Imin adalah jawaban elektoral atas lemahnya elektabilitas Anies di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Bagi Cak Imin, Anies adalah satu-satunya Capres yang hampir pasti berani mendaulatnya menjadi bakal calon wakil presiden, jika PKB mau meninggalkan Prabowo dan berlabuh di halaman rumah Partai Nasdem.

Dan bagi Surya Paloh, Cak Imin adalah sosok yang bisa membuat "kesan" Anies menjadi tidak terlalu berbahaya bagi Istana, karena ditemani oleh Cak Imin dari PKB yang sampai hari ini masib berstatus "gebetan" Jokowi alias partai anggota koalisi pendukung pemerintah yang sedang berkuasa.

Dengan kata lain, Cak Imin dianggap akan memiliki peran yang besar dalam merelaksasi relasi Surya Paloh dan Jokowi, yang sebelumnya memang sudah tak jelas arahnya.

Dan terjadilah perjodohan cepat tersebut. Lamaran Anies dan Partai Nasdem diterima secara meriah oleh PKB dan Cak imin, yang langsung menjadikan Cak Imin mendadak menjadi bakal calon wakil presiden untuk Anies Baswedan sekaligus menjadi "mantan gebetan" Prabowo Subianto pada waktu yang bersamaan. PKB otomatis keluar dari koalisi pendukung Prabowo.

Begitulah cerita Anies dan Cak Imin, dua mantan "gebetan" Prabowo Subianto, dijahit (oleh Surya Paloh) di tengah kegalauan para pihak terhadap situasi politik yang dialami.

Apakah barisan para mantan ini akan menorehkan hasil yang akan membuat mantannya semakin "sakit hati"? Mari kita tunggu.

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/07/08221471/anies-muhaimin-debut-dua-mantan-gebetan-prabowo-yang-berjodoh-karena

Terkini Lainnya

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Maut Bus di Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Maut Bus di Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke