Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tugas Berat Anies-Cak Imin Berebut Suara NU dari Ganjar dan Prabowo

Kompas.com - 07/09/2023, 05:15 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah melewati drama, pasangan bakal capres dan cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) terus berupaya mengumpulkan dukungan.

Salah satu alasan Partai Nasdem, yang merupakan pengusung Anies, menggaet Muhaimin yang merupakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diperkirakan buat menjaring suara dari pendukung Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam peta politik, suara warga Nahdliyin sangat diperhitungkan karena jumlahnya yang besar.

Di sisi lain, Anies dinilai bukan seorang figur populer di mata warga NU. Elektabilitasnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga tertinggal dari Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Baca juga: Cak Imin: Kalau Ada Politik Identitas, Mas Anies dan Saya Terdepan Menolak

Maka dari itu Nasdem menggandeng Muhaimin dengan harapan bisa menarik suara NU.

Akan tetapi, buat menjaring suara NU dinilai tidak mudah. Apalagi besar kemungkinan bakal capres pesaing Anies dan Muhaimin, yaitu Prabowo Subianto serta Ganjar Pranowo, juga mengincar suara kalangan Nahdliyin.

Enggan terseret politik

Meski begitu, Pengurus Besar NU (PBNU) menganggap PKB bukan partai politik yang menjadi representasi kelompok itu.

“Tidak ada (bacapres-bacawapres) atas nama NU. Kalau ada klaim bahwa kiai-kiai PBNU merestui, itu sama sekali tidak benar,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, di kantor PBNU, Senen, Jakarta, Sabtu (2/9/2023).

Menurut Yahya, PBNU sepakat tidak ikut campur dalam urusan politik praktis menjelang Pilpes 2024.

Baca juga: Cak Imin: Panitia MTQ Nangis-nangis Minta Maaf karena Bupati Tanah Laut Menolak Saya

Yahya mengatakan, NU tetap berjalan sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, serta menjauh dari politik praktis.

Dia mengakui memang ada pihak-pihak yang mencoba mendekati PBNU demi meraih dukungan elektoral. Akan tetapi, PBNU tetap tidak mau ikut campur dalam Pilpres 2024.

“Awal-awal ada yang coba-coba (mendekati PBNU). Tapi, saya kira sekarang sudah kapok, hari-hari ini sudah kapok, karena kita juga tidak bergeser dari gestur,’ Sudah silahkan (jalan sendiri tanpa melibatkan PBNU)'," ujar Yahya.

Yahya juga membantah klaim ada kandidat yang mendapatkan restu dari para kyai NU buat bersaing dalam Pilpres 2024.

"Kalau ada klaim bahwa Kiai-Kiai PBNU merestui, itu sama sekali tidak benar karena sama sekali tidak ada pembicaraan dalam PBNU mengenai calon, sama sekali tidak pernah ada pembicaraan di PBNU tentang calon-calon presiden," kata Gus Yahya.

Baca juga: Ditolak Hadir dalam Acara MTQ di Tanah Laut, Cak Imin: Saya Ini Penerima Bintang Mahaputera

Persoalan semakin pelik karena hubungan antara PKB dan PBNU saat ini kurang harmonis. Hal itu membuat PKB mesti bekerja lebih keras buat menjaring suara warga Nahdliyin.

Muhaimin Vs Keluarga Gus Dur

Selain hubungan yang kurang harmonis dengan PBNU, Muhaimin juga masih terlibat konflik dengan keluarga mendiang Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Perselisihan itu juga terasa sampai saat ini, di mana Muhaimin sedang berupaya keras mempengaruhi warga NU buat mendukungnya dalam Pilpres 2024.

Akan tetapi, sikap keluarga Gus Dur untuk urusan politik sudah ditentukan jauh-jauh hari, khususnya sikap untuk tidak mendukung siapapun yang berpasangan dengan Muhaimin.

Perselisihan itu dimulai dari gejolak internal di PKB pada 2005 sampai 2008. Pada saat itu, Gus Dur tersingkir karena kubu Muhaimin menduduki kepengurusan PKB.

Baca juga: Ditanya soal Rencana Sowan ke PKS, Cak Imin: Belum Ada Agenda

Muhaimin juga memecat anak sulung Gus Dur, Yenny Wahid, dari keanggotaan PKB karena dianggap tidak loyal dan membahayakan partai.

Alhasil tuduhan kudeta yang dilakukan Muhaimin kepada Gus Dur lewat Muktamar Luar Biasa di Ancol tahun 2008 masih dirasakan.

Luka itu kemudian membekas hingga kini yang menjadi standar sikap keluarga Gus Dur, selama itu adalah Cak Imin, maka tidak akan ada dukungan.

Muhaimin tidak bisa menganggap remeh perselisihan itu, karena pengaruh keluarga Gus Dur di kalangan warga NU cukup besar.

Sikap keluarga Gus Dur ini pernah diungkapkan Yenny Wahid dalam acara Rossi di Kompas TV pada 10 Agustus 2023 lalu.

Baca juga: Cak Imin: Saya Siap Memberikan Keterangan Apapun Permintaan KPK

Ia menyebut jika calon presiden (capres) Partai Gerindra Prabowo Subianto meminang Cak Imin sebagai calon wakil presiden (cawapres), keluarga Gus Dur siap angkat tangan tak memberi dukungan.

"Ya kita bye-bye, ha ha ha," kata dia. Batas toleransi dukungan masih diberikan jika Cak Imin hanya menjadi pengusung Prabowo, bukan menjadi pasangan.

"Kalau sebagai sesama pengusung (Prabowo) tidak apa-apa, tapi kalau pendamping lain urusan, agak berat itu," kata Yenny.

Yenny mengatakan, penarikan dukungan kepada Cak Imin sudah pernah dilakukan pengikut Gus Dur saat kudeta PKB yang dilakukan kerabatnya itu.

Dia mengatakan, simpatisan Gus Dur justru lebih memilih mendukung Gerindra saat Gus Dur tak lagi memegang kendali PKB yang direbut oleh keponakannya sendiri itu.

Baca juga: Cak Imin Merasa Terharu Dapat Dukungan dari PB PMII

"Yang menarik representasi suara NU di PKB justru lebih kecil dibandingkan suara NU di Gerindra. Karena waktu Cak Imin menelantarkan Gus Dur, kita PKB Gus Dur, Cak Imin dengan PKB Cak Imin," kata Yenny.

"PKB Gus Dur mengalihkan suara untuk Gerindra, maka suara Gerindra naik di Jatim 2009, suara PKB Cak Imin turun 70 persen," sambung Yenny.

Sikap keluarga Gus Dur tak berubah meskipun sosok Anies Baswedan sebagai capres dari Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang menjadi pasangan Cak Imin dalam perhelatan Pilpres 2024 mendatang.

Dengan tegas Yenny menyebut sikapnya masih sama yaitu tak akan memberikan dukungan kepada Cak Imin dan pasangannya.

"Jadi sudah jelas sekali, ketika wakti itu Cak Imin masih berkoalisi dengan Pak Prabowo, saya sudah menyatakan secara terbuka posisi kami, akan sulit sekali bagi kami mendukung capres yang bersanding dengan orang yang pernah mengkudeta Gus Dur," katanya.

Baca juga: Waketum Nasdem: Kami Berharap, Tak Lama Lagi PKS Putuskan Cak Imin sebagai Bacawapres Anies

Sebaliknya, dukungan keluarga Gus Dur akan mengalir pada orang selain Cak Imin.

Yenny menyebut masih membangun komunikasi dengan dua sosok capres lainnya yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Selain menjalankan komunikasi dengan Prabowo, Yenny juga menyebut menjalin komunikasi dengan capres PDI-Perjuangan Ganjar Pranowo.

Karena kedua capres tersebut masih berpeluang mendapat dukungan dari keluarga Gus Dur untuk saat ini.

"Nanti kedua belah pihak saya terus jalin komunikasi," imbuh dia.

Baca juga: Cak Imin Sebut Nama Koalisi Tak Berubah, Tetap Koalisi Perubahan

Harus menyeluruh

Menurut Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, suara basis massa warga Nahdliyin memang selalu diperebutkan dalam setiap kontestasi politik.

Bahkan menurut dia ada 2 cara yang bakal dilakukan oleh seluruh partai politik dan para kandidat bakal capres-cawapres buat mendapatkan suara warga NU dalam Pemilu dan Pilpres 2024.

Agung mengatakan, para bakal capres yang belum memiliki cawapres seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo bakal mencari sosok yang mampu mewakili kalangan Islam di pedesaan, yang selama ini direpresentasikan dengan baik oleh Nahdlatul Ulama.

"Di titik inilah, nama-nama yang selama ini memiliki elektabilitas seperti Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, Yenny Wahid, hingga Erick Thohir menjadi yang terdepan," kata Agung saat dihubungi pada Senin (4/9/2023).

Namun demikian, Agung menilai baik Ganjar dan Prabowo dinilai tidak akan maksimal jika hanya menggaet sosok-sosok yang dianggap mewakili NU, tanpa dipadukan dengan kerja politik lainnya.

Baca juga: Bantah Nasdem dan Masyumi, KPK Tegaskan Pemanggilan Cak Imin Tak Terkait Politik

Yang dimaksud Agung adalah para kandidat harus mendekati NU secara struktural dan kultural. Hal itu penting dilakukan supaya mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari basis massa NU, sehingga secara utuh dapat terwakili melalui pasangan yang kelak maju.

Selain itu, kata Agung, ketika para kandidat berlomba merebut simpati warga NU secara utuh, maka pendekatan institusional selain soal basis pedesaan, juga termasuk di dalamnya pesantren dan kampung, menjadi mengemuka.

"Sehingga, para capres-cawapres yang kelak maju mesti pula aktif untuk melakukan komunikasi ke kepala desa, ulama, dan kyai kampung yang menjadi simpul-simpul massa penentu kemana suara akan diarahkan," ujar Agung.

Jika strategi itu luput dijalankan, Agung menilai kandidat bakal capres-cawapres tidak akan maksimal meraih dukungan NU, termasuk partai pengusung mereka.

Agung mengambil contoh pada Pilpres 2004. Saat itu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan mendiang mantan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi.

Baca juga: Kamis, KPK Akan Periksa Cak Imin sebagai Saksi di Kasus Sistem Proteksi TKI

Dalam Pilpres 2004, pasangan Mega-Hasyim kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla. Salah satu hal ditengarai menjadi faktor kekalahan Mega-Hasyim adalah pendekatan yang mereka lakukan kurang menyeluruh.

Meski tim pemenangan Mega-Hasyim merasa yakin mereka bisa menggunakan pengaruh Hasyim sebagai tokoh NU buat mendulang suara secara struktural, tetapi ternyata justru SBY-JK yang meraih suara dari kelompok kultural NU.

Kelompok NU kultural adalah masyarakat dan pendukung NU yang tidak mengidentikkan dengan struktur kelembagaan ataupun pengaruh pemuka agama.

"Menimbang di masa itu, faktor elektabilitas kurang diakomodasi di sisi cawapres. Sehingga pemilihan cawapres berelektabilitas dan strategi pemenangan melalui blusukan yang intensif menjadi prioritas," papar Agung.

Secara terpisah, peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan, figur bakal cawapres yang dibidik memang sebaiknya memiliki pendukung cukup besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Baca juga: Blak-blakan Yenny Wahid Tutup Pintu Dukungan untuk Anies-Cak Imin

Di kedua daerah itu pengaruh NU di masyarakat sangat kuat.

Buat Meraih suara NU, kata Bawono, diharapkan bisa menutupi kekurangan elektoral pada masing-masing kandidat.

Meski begitu, tidak mudah meraih simpati warga Nahdliyin. Maka dari itu para bakal capres seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan mencari figur bakal cawapres bisa diterima di kalangan NU.

Contohnya Anies, dengan menggandeng Muhaimin diharapkan bisa mendongkrak posisi elektoral, sekaligus meraih suara bagi Partai Nasdem dan PKB.

Meski begitu, Bawono menilai ada sebuah persoalan yang meliputi para tokoh-tokoh NU yang digadang-gadang masuk dalam bursa bakal cawapres.

Baca juga: Berharap Cak Imin-PKB Mobilisasi Warga Nahdliyin Jateng dan Jatim, Nasdem: Tutupi yang Bolong dari Anies

Problemnya, kata Bawono, saat ini tokoh-tokoh berlatar belakang Nahdlatul Ulama belum terlihat terlalu menonjol dalam hal elektabilitas, sebagaimana terekam melalui temuan sejumlah survei.

Bawono menilai langkah Anies menggaet Muhaimin adalah demi mendongkrak elektabilitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta bersaing dengan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Tentu saja, kata dia, Ganjar dan Prabowo juga bakal melakukan hal yang sama karena amat disayangkan jika tidak bisa meraih suara dari kalangan NU demi kepentingan elektoral.

Padahal menurut Bawono, pemilih di 2 provinsi tersebut sangat besar dan juga menentukan perolehan suara.

"Dalam konteks itu bisa dipahami mengapa saat ini muncul pemikiran Partai NasDem untuk menjodohkan Anies dengan figur berlatar belakang Nahdlatul Ulama seperti Muhaimin Iskandar, notabene juga merupakan ketua umum dari sebuah partai politik selama ini dicitrakan sebagai partai warga Nahdlatul Ulama," papar Bawono.

Baca juga: Cak Imin: Jangan Dibalik-balik Saya Mengkudeta Gus Dur, Saya yang Dikudeta, tapi Saya Terima

Persoalan lain yang muncul dari pasangan Anies-Muhaimin adalah dukungan basis pemilih PKB serta warga NU. Yang menjadi pertanyaan apakah dengan menggandeng Muhaimin akan membuat basis masa PKB serta warga NU memilih Anies.

"Mengingat Anies Baswedan selama ini identik sebagai figur representasi dari kelompok politik Islam konservatif. Sementara itu warga Nahdlatul Ulama serta juga pemilih Partai Kebangkitan Bangsa selama ini dikenal sebagai kelompok Islam moderat tradisionalis," ucap Bawono.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com