Kala itu Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) yang berpasangan dengan Wiranto maju sebagai penantang bagi petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang running kembali untuk periode keduanya.
Sejak awal, sebenarnya JK sudah tahu bahwa dirinya akan kalah dari pasangan SBY-Boediono atau pasangan Megawati-Prabowo. Namun demi kebertahanan dan harga diri Partai Golkar, proses kandidasi JK sebagai capres terus dilanjutkan karena berdampak pada perolehan suara partai berlambang beringin tersebut pada pemilu berikutnya.
Tentu absennya Partai Golkar dalam mengusung kadernya di Pilpres ini berdampak negatif bagi perolehan suara kursi di parlemen yang terus mengalami penurunan dari pemilu ke pemilu.
Misalnya, di Pileg 2009, Partai Golkar meraih 109 kursi di DPR RI, kemudian di Pileg 2014 perolehan kursi Partai Golkar turun menjadi 91 kursi dan di Pileg 2019 turun kembali menjadi 85 kursi.
Pun tren penurunan kursi Partai Golkar berdasarkan berbagai survei dalam beberapa bulan terakhir berpotensi terjadi kembali di Pileg 2024, sejalan dengan semakin meningkatnya potensi kenaikan elektabilitas PDI Perjuangan dan Partai Gerindra yang secara aktif dalam tiga pemilu terakhir rutin mengusung kadernya sendiri di Pilpres.
Dengan kata lain, pilihan Partai Golkar untuk memajukan kadernya sendiri sebagai aktor langsung, baik sebagai capres atau cawapres, menjadi pilihan yang tidak bisa ditunda.
Hal ini bukan hanya soal eksistensi Partai Golkar secara institusi dengan sejarah kejayaan dan kemasyuran masa lalu, tapi berkaitan dengan bagaimana kebertahanan Partai Golkar dalam menghadapi sirkulasi kekuasaan pemilu setiap lima tahun.
Pilihan tersisa bagi Partai Golkar saat ini adalah menjalin komunikasi untuk potensi berkoalisi dengan Partai Demokrat memasangkan Airlangga dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Tentu saja, koalisi Partai Golkar (85 kursi) dan Partai Demokrat (54 kursi) cukup mengusung pasangan sendiri. Jika ditotalkan jumlah kursi kedua partai tersebut adalah 129 kursi, lebih dari syarat minimal mencalonkan capres dan cawapres sebanyak 116 kursi.
Pada kesimpulannya, bila Partai Golkar dan Partai Demokrat benar-benar berlayar dengan perahu yang sama di Pilpres 2024, maka trigger utamanya terbentuknya poros baru koalisi.
Hal itu tidak lepas dari peran Cak Imin yang membuka mata setiap aktor politik bahwa politik adalah seni mengelola setiap kemungkinan untuk mengatasi setiap ketidakpastian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.