Tentu proposisi ini akan menghasilkan pasangan Prabowo-Airlangga, bukan Prabowo-Cak Imin di meja runding koalisi mengingat suara nasional PKB (58 kursi) adalah 13.570.970 suara.
Keputusan Cak Imin meninggalkan Koalisi Prabowo sejatinya adalah pilihan logis yang didasari pada asumsi kualitatif dan asumsi kuantitatif secara politik.
Pun bila politik pada satu pengertian merupakan seni membaca kemungkinan di antara ketidakpastian, Cak Imin secara cerdik mengambil keputusan untuk potensi berlayar sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Soal moral dalam politik pragmatisme menjadi urusan lain karena landasannya membutuhkan konsistensi.
Jika konsistensi Cak Imin dilihat dari lanskap relasinya dengan Prabowo selama enam bulan terakhir, ia bisa dianggap tidak setia.
Namun jika konsistensi Cak Imin dilihat dari perpektif keputusan Muktamar PKB yang mengharuskannya menjadi capres/cawapres, ia bisa dianggap konsisten tegak lurus pada putusan tertinggi partai.
Persoalannya adalah ketika Cak Imin meninggalkan Koalisi Indonesia Maju, ia meninggalkan bola panas bagi Prabowo.
Ini tidak hanya berkaitan dengan basis pemilih NU di Jawa Timur yang menjadi salah satu penentu kemenangan yang pada dua Pilpres terakhir tidak mampu dimenangkan oleh Prabowo.
Akan tetapi, ini berkaitan dengan posisi problematik baru bagi Prabowo mengingat ia harus menentukan posisi cawapres akan diberikan pada PAN melalui Erick Thohir atau akan diberikan pada Partai Golkar untuk nama Airlangga Hartarto.
Memang selama ini Airlangga tidak menunjukkan ambisi yang menggebu-gebu untuk posisi cawapres, tapi kita tidak boleh lupa bahwa Partai Golkar adalah partai kedua terbesar di Indonesia.
Sementara Partai Golkar telah melewati dua pemilu terakhir dengan tidak memberangkatkan kadernya menjadi capres/cawapres.
Pada Pilpres 2014, peluang untuk posisi cawapres pernah hadir lewat nama Aburizal Bakrie yang merupakan ketua umum Partai Golkar kala itu.
Akan tetapi, jelang penetapan capres dan cawapres 2014, nama Aburizal Bakrie dipotong oleh Ketua Umum PAN Hatta Rajasa yang akhirnya menjadi cawapres Prabowo.
Kemudian, pada Pilpres 2019, sejak awal dinamika capres dan cawapres posisi Partai Golkar banyak pasif karena ingin fokus dalam Pileg.
Artinya, terakhir kali Partai Golkar secara langsung mengusung kadernya sendiri menjadi capres atau cawapres adalah di Pemilu 2009.