Cak Imin yang akhirnya melabuhkan hatinya kepada Anies Baswedan merasa nasibnya tidak jelas berada di Koalisi Indonesia Raya bareng Gerindra. Hampir setahun “pacaran” dengan Prabowo, kejelasan Cak Imin terus digantung.
Janji posisi Cawapres mendampingi Prabowo semakin “auh ah gelap” usai Golkar dan PAN menyusul bergabung mendukung pencapresan Prabowo.
Cak Imin semakin tidak nyaman melihat PAN semakin gencar mempromosikan Erick Thohir dan Golkar tetap “ngotot” menjajakan Airlangga Hartarto sebagai “pengantinnya” Prabowo.
Demikian pula dengan Anies terhadap AHY. Sebagai figur yang disponsori Nasdem, Anies tidak bisa berbuat banyak dengan komando Surya Paloh yang mendikte langkahnya.
Janji boleh terucap hingga tujuh kali kepada AHY serta lengkap dengan surat tertulis permintaan menjadi pendampingnya, apa boleh buat perintah Surya Paloh-lah yang harus dikedepankan.
Dunia politik memang keras dan kejam, penuh dengan “pertempuran” dalam memperebutkan kekuasaan. Terkadang segala cara dihalalkan dan dilakukan untuk mencapai satu tujuan, yakni mengapai kekuasaan.
Bukan pula berarti cara santun tidak bisa dilakukan dalam berpolitik. Saya jadi teringat dengan Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat yang pernah menjadi Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Saat BPUPKI tengah menggelar rapat persiapan kemerdekaan akhir Mei 1945 dan tengah berdebat soal dasar negara bila Indonesia merdeka, Radjiman begitu menghargai pandangan para “adik kelasnya” seperti M. Yamin, Soepomo dan Soekarno.
“Aku duduk mendengarkan pembitjaraan simpang-siur ini dan membiarkan setiap orang mengeluarkan pendapatnja. Buluku berdiri tegak mendengarkan mereka mendjelaskan rentjana masing-masing jang mengemukakan segala matjam perkara ketjil-ketjil. Mereka terlalu banjak men-djika dan terlalu banjak mengira-ngira. Melihat semua ini semua kukira tak seorangpun dari kami jang akan mengenal kemerdekaan hingga masuk keliang kubur”. – Bung Karno, 1 Juli 1945.
Radjiman Wediodiningrat mendengar saksama dan memberi hormat atas jawaban menawan dari Soekarno dan mengakhiri perdebatan panjang soal dasar negara.
Para politikus tetap bisa “merebut” hati para pemilihnya, apakah menjadi Capres atau Cawapres tanpa harus meninggalkan kesantunan dalam berpolitik.
Namun politik santun ini jangan pula disalahgunakan hanya untuk pencitraan dalam rangka menggapai kekuasaan.
Santun tidak dijadikan kedok untuk mendulang dukungan para pemilih. Tidak juga menampilkan kesantuan yang tidak sesuai dengan realita, hanya untuk menarik simpati.
Kita semua tentu berharap di balik kesantunan yang tampak tersebut, tidak tersembunyi “musang berbulu domba” yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Dari Cak Imin atau Anies Baswedan kita bisa belajar arti konsistensi...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.