JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, mempertanyakan gugatan agar syarat usia minimum calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 40 tahun di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) bisa dibarter dengan pengalaman pernah menjabat sebagai penyelenggara negara.
Gugatan itu termuat dalam permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Sekretaris Jenderal dan Ketua Umum Partai Garuda, Yohanna Murtika dan Ahmad Ridha Sabhana).
Kemudian, perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan dua kader Gerindra, Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa).
Bivitri menyoroti soal definisi rekam jejak pernah "menjadi penyelenggara negara" yang membuat seseorang layak mencalonkan diri sebagai capres-cawapres harus dibedah dengan detail dan adil, semisal apakah harus pernah menjadi kepala daerah, berapa lama, dan sejenisnya.
"Kalau Mahkamah berhenti di situ, untuk konteks di mana bulan depan sudah ada pencalonan (presiden dam wakil presiden), maka yang terjadi adalah chaos," kata Bivitri yang dihadirkan selaku ahli dari Pihak Terkait Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam sidang lanjutan MK terkait perkara ini, Selasa (29/8/2023).
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu lantas menjelaskan bahwa pengaturan rinci ini adalah urusan pembuatan kebijakan, yakni pemerintah dan DPR. Sehingga, bukan urusan hukum atau konstitusi sebagaimana ranah MK.
"Perdebatannya bukan di ruangan ini tapi di Senayan sana. Keluarkan semua, kenapa kepala daerah di DKI Jakarta seringkali jadi batu loncatan yang dianggap strategis untuk jadi presiden, penelitiannya apa, apa aspek sosiologis, politisnya, tapi lagi-lagi tempatnya bukan di Mahkamah," ujar Bivitri.
Baca juga: Batas Usia Capres Digugat Lagi ke MK, Pemohon Minta Rentang 21-65 Tahun
Ia juga membantah dalil para pemohon yang menganggap sama persyaratan "pernah menjadi penyelenggara negara" untuk capres-cawapres dengan persyaratan "pernah menjadi penyelenggara negara" untuk menjadi pimpinan lembaga lain negara.
Bivitri menegaskan bahwa pada lembaga lain, pengisian jabatannya bukan melalui pemilu.
"Election dengan selection harus betul-betul dibedakan," katanya.
"Ini jadi inkonsisten, tapi kalau mau disama-samakan, berarti calon presiden harus pernah menduduki jabatan presiden. Itu sudah ada aturan mainnya, dua kali dipilih. Setelah itu tidak boleh dijadikan calon. Kalau memang pengalaman mau dijadikan ukuran, harus pengalaman yang sama. Pimpinan KPK kan begitu, pengalaman dalam jabatan yang sama," ujarnya lagi.
Baca juga: Minta MK Segera Putuskan Usia Capres-Cawapres, PPP: Agar Tidak Jadi Polemik
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.