MELIHAT perkembangan politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, publik disuguhkan dengan manuver dan atraksi politik yang kerap membingungkan.
Tidak saja publik, pengamat yang bergelar doktor dan kerap “wira-wiri” di layar kaca juga kerap “keseleo” memaparkan amatannya.
Sahabat saya yang kader partai juga dibuat bingung. Kemarin, partainya selalu menggelorakan permusuhan dengan salah seorang sosok bakal capres dan mencapnya sebagai antitesa dari Presiden Jokowi.
Dirinya terkaget-kaget saat elite partainya menyandingkan nama tersebut berpasangan dengan bakal capres unggulannya.
Kolega saya seorang aktivis 1998 yang dulu getol mengkritisi salah seorang figur bakal capres karena tangannya konon dianggap “berlumuran darah” terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia, kini justru kerap memuja-muji dan rela dipecat partainya.
Bahkan kini, dirinya aktif mengampanyekan sosok yang dulunya dianggap “lawan”.
Dalam berbagai kelas pascasarjana komunikasi politik yang saya ampu, saya kerap berpesan ke mahasiswa agar tidak “berkerut” ketika melihat perkembangan politik yang terjadi. Amati setiap fenomena yang terjadi, kaitkan dengan teori dan relasikan dengan politik “ala” Indonesia.
Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Semua bisa terjadi jika kepentingan yang dituju dan disasar.
Fenomena konteslasi partai-partai yang membentuk koalisi bisa diibaratkan seperti “pacaran” gaya anak-anak baru gede atau “ABG”. Gampang jadian dan gampang putusnya.
Siapa sangka, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi partai-partai mapan seperti Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang semula berikrar akan bersatu, toh akhirnya putus di tengah jalan.
Jika diakumulasikan, maka perolehan suara ketiga partai yang tergabung dalam KIB sebesar 23,67 persen suara sah nasional, sedangkan perolehan kursi DPR mereka sebesar 25,73 persen.
Dalam pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan persyaratan meraih kursi DPR RI minimal 20 persen atau memperoleh minimal 25 persen suara sah nasional.
KIB tidak kokoh bersatu hingga akhir, ditengarai karena tidak adanya sosok “yang layak” jual. Nama masing-masing ketua umum partai, tidak masuk dalam jajaran tiga, bahkan lima besar peraih elektabilitas tertinggi sebagai capres atau cawapres.
Kalau pun ada nama Ridwan Kamil yang masuk tiga besar sebagai cawapres dengan elektabilitas tertinggi, justru tidak “dianggap” oleh elite partai berlambang pohon beringin tersebut.
Sebagai pendatang baru, nama Gubernur Jawa Barat yang “moncer” di kalangan anak muda penggemar media sosial harus siap ditempatkan di bench sebagai pemain cadangan.