KOMPAS.com- Sejumlah pihak menilai bahwa implementasi Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang telah ditetapkan pada 2 November 2020 melalui Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Menjadi UU dinilai masih belum optimal.
Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja (Satgas UU Cipta Kerja) dengan menemukan beberapa klaster yang bermasalah.
"Pemerintah telah memenuhi amanat putusan Mahkamah Agung (MK) Nomor 91/PUU-XVII/2020, yakni pemerintah harus memperbaiki UUCK dalam kurun waktu dua tahun," ungkap Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Monitoring dan Evaluasi (Monev) Satgas UU Cipta Kerja Eddy Priyono melalui keterangan persnya, Senin (28/8/2023).
Penjelasan tersebut disampaikan Eddy dalam workshop bertajuk "Tindak Lanjut Temuan Permasalahan Implementasi UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksanaannya" di Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh Ancam Kepung Mahkamah Konstitusi
"Kemudian diikuti klaster perizinan dan kegiatan usaha sebesar 16,45 persen, koperasi dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) 15,81 persen, lingkungan hidup 6,77 persen, investasi 5,48 persen, kawasan ekonomi khusus 4,52 persen, dan hak atas tanah 3,55 persen," jelas Eddy.
Adapun permasalahan terbesar klaster ketenagakerjaan, meliputi upah minimum (UM), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya, serta pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sementara itu, klaster perizinan berusaha berkaitan erat dengan isu, seperti kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR), persetujuan bangunan gedung (PBG), analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal), perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).
Baca juga: Profesor UGM Sebut UU Cipta Kerja Dibutuhkan untuk Entaskan Kemiskinan
Klaster kawasan ekonomi khusus (KEK) memiliki masalah terkait insentif fiskal KEK, penolakan bank tanah, neraca komoditas yang terlalu rigid, akses perbankan perseroan perseorangan, serta kemitraan.
Kemudian, pada klaster dukungan UMKM, masalah yang terjadi umumnya menyangkut kendala Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 terkait sertifikat halal, sertifikat pangan industri rumah tangga (SPP-IRT), dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menindak lanjuti isu-isu yang terjadi, Satgas UU Cipta Kerja membuat sejumlah rekomendasi untuk membahas klaster-klaster tersebut.
Lebih lanjut, Eddy menjelasakan alasan mengapa penerapan upah minimun (UM) menjadi salah satu masalah terbesar dalam klaster ketenagakerjaan dalam penerapan UU Cipta Kerja.
Hal ini karena belum adanya kejelasan mengenai tujuan kebijakan UM, khususnya antara fungsi sebagai safety net atau sebagai instrumen hidup yang layak.
Baca juga: 8 Maklumat Koalisi Masyarakat Sipil ke Jokowi, soal KPK hingga Pembatalan UU Cipta Kerja
"Tidak semua daerah menetapkan regulasi UM ini. Selain itu, penjelasan mengenai 'keadaan tertentu' yang cukup membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian juga belum ada," ucap Eddy.
Eddy mengatakan, rekomendasi Satgas UU Cipta Kerja bertujuan untuk memperjelas kebijakan UM sebagai safety net serta mendefinisikan variabel dan perhitungan formula yang jelas.
Oleh karenanya, sebut dia, PP Nomor 36 Tahun 2023 perlu direvisi lewat peran Dewan Pengupahan. Badan ini harus fokus mendorong penerapan struktur skala upah (SSU) di perusahaan.