Pemilihan presiden dengan seleksi yang cukup ketat dan berjenjang di Amerika menangkal terjadinya pertikaian dan polarisasi politik. Bahkan dengan cara itu akan terseleksi calon-calon yang berkualitas.
Indonesia terlalu berani untuk mengambil jalan pemilihan langsung, padahal tradisi permusyawaratan telah menjadi tradisi yang hidup di masyarakat dan menjadi falsafah bangsa ini.
Pemilihan langsung yang melibatkan massa ini memiliki kelemahan cukup serius. Setelah amandemen UUD, tidak ada satu kamar dalam lembaga eksekutif dan legislatif yang tidak dipilih langsung. Kesibukan suksesi politik telah menyeret bangsa ini mengabaikan pembangunan yang besar.
Sangat disayangkan, utusan golongan yang diangkat oleh presiden tanpa pemilihan umum juga dihilangkan.
Kenapa semua harus dipilih? Padahal kita tahu, mengikuti pemilu artinya membutuhkan biaya besar, siapapun yang terpilih pasti akan berjuang mengembalikan modalnya. Karena itu, opsi utusan golongan harus dipertimbangkan kembali apabila jalan amandemen dibuka oleh MPR.
Di Inggris terdapat dua institusi di Parlemen yang tidak semua dipilih langsung. Wakil-wakil rakyat dipilih dari calon-calon yang diajukan partai-partai politik melalui pemilu disebut House of Commons mempunyai 659 anggota yang terdiri dari para wakil rakyat yang dipilih melalui Pemilu.
House of Commons memegang peranan terbesar dalam menentukan haluan politik negara. Sebanyak 659 anggotanya (dinamakan Member of Parliamant - MP), dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilakukan lima tahun sekali.
Sementara di kamar lain ada House of Lords, yakni kalangan bangsawan yang diangkat bukan berdasarkan pemilihan, namun berdasarkan keturunan (Hereditary Peers). Jumlah anggota House of Lords saat ini 1222 orang, namun yang aktif hanya 360 orang.
Di negara demokrasi liberal seperti Inggris, pemilihan Supreme Legislative Authority (gabungan dari House of commons dan House of Lords) tidak semuanya dipilih melalui pemilihan langsung. Sebagian dipilih dan sebagian diangkat berdasarkan gelar kebangsawanan.
Menurut Robert Michael (dalam Partai Politik: 1984), pemilihan massa tidak memungkinkan untuk menciptakan kepemimpinan yang efektif dan berkualitas.
Karena massa tidak memahami dan mengetahui secara utuh mengenai fenomena organisasi (negara) pada tingkat elite dengan figur elite itu sendiri.
Itulah kenapa para pendiri bangsa memilih presiden dengan sistem quasi presidensial, bukan presidensialIsme. Maka MPR diberi kedudukan sebagai institusi negara tertinggi yang memiliki kewenangan untuk memilih dan memberhentikan presiden.
Kelemahan mendasar dari amandemen UUD 1945 adalah obsesi besar para perumus untuk membawa suksesi politik semata-mata pada pemilihan langsung tanpa mempertimbangkan nilai-nilai historis, filosofi dan sosiologis masyarakat. Seperti nilai permusyawaratan perwakilan yang menjadi falsafah kepemiluan.
Amandemen UUD tahun 1999-2002 terlalu terobsesi pada perubahan politik tanpa pertimbangan nilai-nilai yang menjadi falsafah bangsa Indonesia.
Seharusnya menurut rencana, perubahan UUD 1945 pada saat itu melalui adendum, yaitu menyempurnakan ketentuan-ketentuan untuk disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan perkembangan kondisi kenegaraan.
Namun pada kenyataannya bukan penyempurnaan, tapi perubahan total yang sama sekali baru. Akhirnya pondasi bernegara kehilangan peta jalan untuk menuntun mencapai tujuannya.
Karena itu, perubahan UUD NRI yang dihembuskan harus betul-betul mempertimbangkan kembali nilai-nilai historis, filosofis, sosiologis dan yuridis sebagaimana menjadi konsep awal konstitusi itu dirumuskan oleh pendiri bangsa ini.
Pada akhirnya keinginan untuk melakukan amandemen konstitusi harus memberikan arah masa depan demi perbaikan dan penyempurnaan konstitusi bernegara yang berlandaskan Pancasila dan nilai luhur bangsa Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.