Salin Artikel

Tentang Amandemen UUD 1945

Usulan perubahan itu menjadi serius setelah Ketua MPR dan DPD RI menyampaikan keinginan itu pada acara penting kenegaraan 16 Agustus 2023. Pidato kedua pimpinan lembaga negara pada sidang Tahunan MPR semakin memperjelas perlunya perubahan UUD 1945.

Sebelum wacana itu muncul, dorongan perubahan konstitusi telah menggema jauh-jauh hari di kalangan tokoh-tokoh politik yang selama ini menyerukan kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945 “yang asli”.

UUD 1945 yang asli dimaksud adalah UUD yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian diberlakukan kembali setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam setiap diskusi mengenai konstitusi, wacana ini kerap mengemuka. Grup-grup WhatsApp yang diisi oleh tokoh-tokoh politik dari berbagai kalangan dengan lintas generasi yang dibuat oleh Aktivis Senior Hatta Taliwang cukup intens membahas wacana kembali ke UUD 1945 yang asli itu.

Tidak jarang terjadi silang pendapat, kalau diberlakukan UUD yang asli maka jabatan presiden tidak dibatasi dua periode.

Kemudian pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia, khususnya mulai pasal 28A hingga pasal 28J hasil perubahan juga lenyap.

Kembali ke UUD 1945 yang asli adalah kembali ke “kedaulatan berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan Rakyat”. Otomatis pemilihan Presiden dan wakil Presiden dilakukan melalui lembaga MPR, tidak lagi menggunakan pemilihan langsung atau Pemilihan Presiden langsung sebagaimana dalam UUD NRI 1945.

Pertanyaan yang paling penting adalah, apakah mungkin ada jalan kembali ke UUD 1945? Dengan jalan apa kembali ke UUD 1945 yang asli dimaksud?

Tawarannya cukup beragam. Ada pendapat yang menawarkan harus ada revolusi hukum, yaitu presiden mengeluarkan “dekrit yang terkoordinasi”.

Dekrit presiden apapun labelnya, terkoordinasi atau tidak, memiliki kelemahan yang cukup serius. Revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.

Revolusi hukum yang berhasil harus mendapat dukungan mayoritas rakyat. Sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

Masalahnya apakah presiden berani untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit 5 Juni 1949, membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945?

Dekrit Presiden harus didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sehingga menjadi alasan untuk dikeluarkan dekrit.

Apakah keadaan itu memenuhi syarat sehingga dekrit kembali ke UUD 1945 dapat dilakukan?

Selain itu, dekrit juga ditentukan oleh kekuatan politik dan kekuatan kemananan negara (TNI dan Polisi) untuk menerima secara bulat dekrit tersebut.

Tanpa kekuatan politik yang solid dan kekuatan TNI dan Polri yang siap mengamankan dekrit itu, presiden bisa dianggap sebagai pengkhianat negara atau melakukan perbuatan tercela. Presiden bisa dikudeta.

Mengeluarkan dekrit maupun jalan lain seperti konvensi ketatanegaraan, atau referendum, tentu sulit untuk dilaksanakan.

Jalan satu-satunya yang diinginkan oleh konstitusi tercantum dalam pasal Pasal 37 ayat (1), “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Jalan konstitusional yang terbuka adalah MPR mengagendakan sidang perubahan UUD dengan persetujuan 1/3 dari anggota MPR. Artinya membutuhkan dukungan dari anggota MPR tidak bisa di luar itu.

Apakah perubahan itu mengembalikan pasal-pasal dalam UUD sebelum amandemen atau tidak, itu sangat bergantung pada suara mayoritas anggota MPR. Suara Mayoritas yang harus dipenuhi adalah 50 + 1 dari seluruh jumlah anggota MPR yang berjumlah 711 orang.

Pentingkah amandemen?

Amandemen kelima memang sudah menjadi bahan diskursus serius bagi beberapa kalangan, bahkan rencana amandemen sudah mulai diusulkan oleh kelompok DPD periode 2004-2009.

Berbagai alasan telah dikemukakan untuk melegitimasi rencana amandemen konstitusi itu.

Seperti yang dikemukakan oleh Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti, amanademen 1 (satu) sampai 4 (empat) telah membuat bangsa ini kehilangan jati diri bangsanya.

Menurut La Nyalla, perubahan UUD 1945 telah menciptakan konstitusi yang jauh dari nilai-nilai utama bernegara. Jalan untuk menyelamatkan negara adalah kembali ke UUD 1945 sebelum diamandemen.

Untuk usulan kembali ke UUD 1945 itu, Ketua DPD juga mengusulkan presiden mengeluarkan dekrit sekaligus memberikan jalan memperpanjang jabatan presiden.

Bagi saya, jalan untuk amandemen Konstitusi tidak harus dengan dekrit, karena UUD sendiri telah mengatur bagaimana dirinya diubah dengan mekanisme yang jelas.

Karena itu usul dekrit dan memperpanjang jabatan sebagai kompensasi bagi presiden dalam hal ini akan sulit diterima oleh masyarakat.

Penyataan ketua DPD mengenai banyaknya perubahan di dalam UUD setelah amandemen benar adanya, karena perubahannya hampir mencapai 90 persen. Sehingga UUD sudah tidak layak lagi disebut UUD 1945, melainkan UUD 2002.

Akibat dari perubahan itu banyak pasal yang ditambah, pasal yang diubah dan dan pasal yang dihapus.

Setelah empat kali perubahan dari tahun 1999 sampai tahun 2002, ternyata menimbulkan banyak ketidakpuasan terhadap ketentuan UUD 1945.

Ketidakpuasan itu memuncak setelah pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan empat kali.

Pemilihan presiden langsung telah menimbulkan masalah-masalah yang cukup serius. Misalnya, politik uang cukup menggila.

Seorang calon presiden harus memiliki modal cukup besar untuk dapat ikut berkompetisi. Karena modal besar, maka mau tidak mau, harus menggunakan kekuatan pemodal (oligarki) untuk membiayai pencapresan. Kenyataan ini membuat seorang presiden terpilih disandera oleh pemilik modal.

Polarisasi sosial terjadi sedemikian berbahaya akibat adanya persaingan politik para calon. Terjadi permusuhan, persekusi terhadap lawan politik dan bahkan fitnah, umpatan, berita hoax menyebar dalam bentuk yang cukup berbahaya bagi integrasi bangsa dan kohesi sosial masyarakat.

Rakyat sibuk berkelahi, elite politik sibuk mengejar elektabilitas, sehingga bangsa ini lupa pada pembangunan, tapi sibuk pada suksesi. Akibatnya masa depan bangsa dan negara untuk mencapai tujuannya terabaikan.

Selain persoalan tersebut, Pilpres langsung membuat negara boros anggaran untuk persiapan pemilu. Setiap pemilu, apakah itu pemilihan legislatif, presiden, kepala daerah, suksesi selalu memakan biaya mahal yang harus ditanggung negara.

Belum lagi biaya politik para kandidat, yang nanti kalau menang akan dibayar dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh pemilik modal yang menjadi “bohir politik” untuk dipergunakan kemakmuran oligarki.

Dalam sejarah, pemilihan langsung memiliki kelemahan yang tidak disepelekan. Dalam sejarah Republik Romawi kuno, misalnya, pemilihan langsung hanya melahirkan perang dan pertumpahan darah antara oligarki politik (oligarki panglima) yang menguasai pasukan perang dan uang.

Sejarah pemilihan umum adalah sejarah yang dipenuhi dengan politik uang, kemunafikan, janji palsu, serangan fajar dan pertikaian dan pemerasan. Itulah yang akhirnya meruntuhkan Republik Romawi Kuno.

Amerika sebagai moyangnya demokrasi tidak melakukan pemilihan langsung yang melibatkan massa seperti Indonesia.

Pemilihan presiden dengan seleksi yang cukup ketat dan berjenjang di Amerika menangkal terjadinya pertikaian dan polarisasi politik. Bahkan dengan cara itu akan terseleksi calon-calon yang berkualitas.

Indonesia terlalu berani untuk mengambil jalan pemilihan langsung, padahal tradisi permusyawaratan telah menjadi tradisi yang hidup di masyarakat dan menjadi falsafah bangsa ini.

Pemilihan langsung yang melibatkan massa ini memiliki kelemahan cukup serius. Setelah amandemen UUD, tidak ada satu kamar dalam lembaga eksekutif dan legislatif yang tidak dipilih langsung. Kesibukan suksesi politik telah menyeret bangsa ini mengabaikan pembangunan yang besar.

Sangat disayangkan, utusan golongan yang diangkat oleh presiden tanpa pemilihan umum juga dihilangkan.

Kenapa semua harus dipilih? Padahal kita tahu, mengikuti pemilu artinya membutuhkan biaya besar, siapapun yang terpilih pasti akan berjuang mengembalikan modalnya. Karena itu, opsi utusan golongan harus dipertimbangkan kembali apabila jalan amandemen dibuka oleh MPR.

Di Inggris terdapat dua institusi di Parlemen yang tidak semua dipilih langsung. Wakil-wakil rakyat dipilih dari calon-calon yang diajukan partai-partai politik melalui pemilu disebut House of Commons mempunyai 659 anggota yang terdiri dari para wakil rakyat yang dipilih melalui Pemilu.

House of Commons memegang peranan terbesar dalam menentukan haluan politik negara. Sebanyak 659 anggotanya (dinamakan Member of Parliamant - MP), dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilakukan lima tahun sekali.

Sementara di kamar lain ada House of Lords, yakni kalangan bangsawan yang diangkat bukan berdasarkan pemilihan, namun berdasarkan keturunan (Hereditary Peers). Jumlah anggota House of Lords saat ini 1222 orang, namun yang aktif hanya 360 orang.

Di negara demokrasi liberal seperti Inggris, pemilihan Supreme Legislative Authority (gabungan dari House of commons dan House of Lords) tidak semuanya dipilih melalui pemilihan langsung. Sebagian dipilih dan sebagian diangkat berdasarkan gelar kebangsawanan.

Menurut Robert Michael (dalam Partai Politik: 1984), pemilihan massa tidak memungkinkan untuk menciptakan kepemimpinan yang efektif dan berkualitas.

Karena massa tidak memahami dan mengetahui secara utuh mengenai fenomena organisasi (negara) pada tingkat elite dengan figur elite itu sendiri.

Itulah kenapa para pendiri bangsa memilih presiden dengan sistem quasi presidensial, bukan presidensialIsme. Maka MPR diberi kedudukan sebagai institusi negara tertinggi yang memiliki kewenangan untuk memilih dan memberhentikan presiden.

Kelemahan mendasar dari amandemen UUD 1945 adalah obsesi besar para perumus untuk membawa suksesi politik semata-mata pada pemilihan langsung tanpa mempertimbangkan nilai-nilai historis, filosofi dan sosiologis masyarakat. Seperti nilai permusyawaratan perwakilan yang menjadi falsafah kepemiluan.

Amandemen UUD tahun 1999-2002 terlalu terobsesi pada perubahan politik tanpa pertimbangan nilai-nilai yang menjadi falsafah bangsa Indonesia.

Seharusnya menurut rencana, perubahan UUD 1945 pada saat itu melalui adendum, yaitu menyempurnakan ketentuan-ketentuan untuk disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan perkembangan kondisi kenegaraan.

Namun pada kenyataannya bukan penyempurnaan, tapi perubahan total yang sama sekali baru. Akhirnya pondasi bernegara kehilangan peta jalan untuk menuntun mencapai tujuannya.

Karena itu, perubahan UUD NRI yang dihembuskan harus betul-betul mempertimbangkan kembali nilai-nilai historis, filosofis, sosiologis dan yuridis sebagaimana menjadi konsep awal konstitusi itu dirumuskan oleh pendiri bangsa ini.

Pada akhirnya keinginan untuk melakukan amandemen konstitusi harus memberikan arah masa depan demi perbaikan dan penyempurnaan konstitusi bernegara yang berlandaskan Pancasila dan nilai luhur bangsa Indonesia.

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/23/12240521/tentang-amandemen-uud-1945

Terkini Lainnya

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Nasional
Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Nasional
Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke