Apakah perubahan itu mengembalikan pasal-pasal dalam UUD sebelum amandemen atau tidak, itu sangat bergantung pada suara mayoritas anggota MPR. Suara Mayoritas yang harus dipenuhi adalah 50 + 1 dari seluruh jumlah anggota MPR yang berjumlah 711 orang.
Amandemen kelima memang sudah menjadi bahan diskursus serius bagi beberapa kalangan, bahkan rencana amandemen sudah mulai diusulkan oleh kelompok DPD periode 2004-2009.
Berbagai alasan telah dikemukakan untuk melegitimasi rencana amandemen konstitusi itu.
Seperti yang dikemukakan oleh Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti, amanademen 1 (satu) sampai 4 (empat) telah membuat bangsa ini kehilangan jati diri bangsanya.
Menurut La Nyalla, perubahan UUD 1945 telah menciptakan konstitusi yang jauh dari nilai-nilai utama bernegara. Jalan untuk menyelamatkan negara adalah kembali ke UUD 1945 sebelum diamandemen.
Untuk usulan kembali ke UUD 1945 itu, Ketua DPD juga mengusulkan presiden mengeluarkan dekrit sekaligus memberikan jalan memperpanjang jabatan presiden.
Bagi saya, jalan untuk amandemen Konstitusi tidak harus dengan dekrit, karena UUD sendiri telah mengatur bagaimana dirinya diubah dengan mekanisme yang jelas.
Karena itu usul dekrit dan memperpanjang jabatan sebagai kompensasi bagi presiden dalam hal ini akan sulit diterima oleh masyarakat.
Penyataan ketua DPD mengenai banyaknya perubahan di dalam UUD setelah amandemen benar adanya, karena perubahannya hampir mencapai 90 persen. Sehingga UUD sudah tidak layak lagi disebut UUD 1945, melainkan UUD 2002.
Akibat dari perubahan itu banyak pasal yang ditambah, pasal yang diubah dan dan pasal yang dihapus.
Setelah empat kali perubahan dari tahun 1999 sampai tahun 2002, ternyata menimbulkan banyak ketidakpuasan terhadap ketentuan UUD 1945.
Ketidakpuasan itu memuncak setelah pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan empat kali.
Pemilihan presiden langsung telah menimbulkan masalah-masalah yang cukup serius. Misalnya, politik uang cukup menggila.
Seorang calon presiden harus memiliki modal cukup besar untuk dapat ikut berkompetisi. Karena modal besar, maka mau tidak mau, harus menggunakan kekuatan pemodal (oligarki) untuk membiayai pencapresan. Kenyataan ini membuat seorang presiden terpilih disandera oleh pemilik modal.
Polarisasi sosial terjadi sedemikian berbahaya akibat adanya persaingan politik para calon. Terjadi permusuhan, persekusi terhadap lawan politik dan bahkan fitnah, umpatan, berita hoax menyebar dalam bentuk yang cukup berbahaya bagi integrasi bangsa dan kohesi sosial masyarakat.
Rakyat sibuk berkelahi, elite politik sibuk mengejar elektabilitas, sehingga bangsa ini lupa pada pembangunan, tapi sibuk pada suksesi. Akibatnya masa depan bangsa dan negara untuk mencapai tujuannya terabaikan.
Selain persoalan tersebut, Pilpres langsung membuat negara boros anggaran untuk persiapan pemilu. Setiap pemilu, apakah itu pemilihan legislatif, presiden, kepala daerah, suksesi selalu memakan biaya mahal yang harus ditanggung negara.
Belum lagi biaya politik para kandidat, yang nanti kalau menang akan dibayar dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh pemilik modal yang menjadi “bohir politik” untuk dipergunakan kemakmuran oligarki.
Dalam sejarah, pemilihan langsung memiliki kelemahan yang tidak disepelekan. Dalam sejarah Republik Romawi kuno, misalnya, pemilihan langsung hanya melahirkan perang dan pertumpahan darah antara oligarki politik (oligarki panglima) yang menguasai pasukan perang dan uang.
Sejarah pemilihan umum adalah sejarah yang dipenuhi dengan politik uang, kemunafikan, janji palsu, serangan fajar dan pertikaian dan pemerasan. Itulah yang akhirnya meruntuhkan Republik Romawi Kuno.
Amerika sebagai moyangnya demokrasi tidak melakukan pemilihan langsung yang melibatkan massa seperti Indonesia.