DALAM beberapa pekan terakhir, muncul sejumlah gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Sejauh ini sudah ada delapan gugatan yang bernada sama, yang intinya meminta MK untuk mengadili/merevisi Pasal 169 huruf dan dan q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang berbunyi:
Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah:
d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.
q. berusia paling rendah 40 tahun
Sejauh ini yang terekspos sudah ada tiga gugatan – yang sama atau mirip – sudah di sidangkan. Selain tiga gugatan di atas, belakangan muncul kembali lima gugatan terkait usia minimum capres-cawapres ke MK.
Pada intinya, mereka meminta agar MK mengadili batas usia minimum capres dan cawapres di Pilpres 2024. Soal batas minimumnya, ada yang meminta 35 tahun, hingga ada yang meminta sampai usia 21 tahun.
Di sisi lain, pada Jumat (18/8/2023), puluhan advokat yang mengatasnamakan diri Aliansi '98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang tentang Pemilu ke MK, yang intinya meminta MK membatasai usia capres/cawapres menjadi maksimal 70 tahun.
Selain itu, Aliansi Pengacara 98 meminta MK memperketat syarat capres/cawapres, yaitu “tidak pernah melakukan kekerasan dan/atau menjadi bagian orang atau kelompok orang yang melakukan pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa serta terlibat atau menjadi bagian orang atau kelompok orang yang melakukan pelanggaran HAM dari peristiwa pelanggaran HAM 1998.”
Bila kita cermati, uji materi yang diajukan ke MK dalam beberapa bulan terakhir, sepintas terlihat wajar dan normatif.
Namun dengan banyaknya jumlah gugatan yang masuk, justru menunjukkan gugatan tersebut kental nuansa politik, terutama jelang pendaftaran capres dan cawapres pada Oktober 2023.
Padahal, dalam berbagai kesempatan sidang pemeriksaan di tiga perkara yang sedang ditangani, MK sudah mengungkapkan persoalan ini bukan ranah mereka, melainkan pembentuk undang-undang.
Hal itu tampak dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 37/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, dan Putusan MK Nomor 58/PUU-XVII/2019. Pada intinya menegaskan bahwa batas usia pejabat publik adalah ranah pembentuk undang-undang (open legal policy).
Konstitusi UUD 1945 tidak mengatur sama sekali batasan-batasan itu. Artinya, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Oleh UUD 1945, hal ini dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
Selain itu, permohonan yang didalilkan para Pemohon ini secara otomatis akan berakibat langsung maupun tidak langsung – atau setidaknya potensial bagi ketidakpastian kerangka hukum penyelenggaraan pemilu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.