Jika KPU bersikukuh tidak membuka riwayat hidup kandidat dan menunggu hingga waktu DCT pada 4 November nanti dengan catatan mendapatkan persetujuan, maka KPU perlu di ingatkan, pengalaman 2019 hanya 49,5 persen yang bersedia mempublikasikan data Riwayat hidup.
Berarti ada ketimpangan informasi. Padahal pada pemilu 2014, KPU pernah menerapkan keterbukaan informasi kandidat. Maka jangan sampai KPU hari ini dianggap mundur 10 tahun kebelakang.
Terkait keterbukaan informasi, publik perlu diedukasi. Jika seorang warga negara memutuskan untuk mendedikasikan dirinya sebagai pejabat publik, entah sebagai anggota legislatif atau pejabat eksekutif, maka dirinya tidak saja milik pribadi atau keluarganya, melainkan menjadi milik publik yang memiliki kesadaran etis sebagai konsekuensi dari jabatan tersebut.
Di negara demokrasi maju, jangankan riwayat hidup, aktivitas pejabat publik selama masa kerja perlu dilaporkan untuk menghindari terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan demikian, pejabat dituntut kehati-hatian dalam bertindak dan berkomunikasi, apalagi yang dapat menyebabkan konflik kepentingan.
Membuka riwayat hidup calon ke publik, memberikan akses pada sistem informasi pencalonan (silon), dan tentunya menerapkan kembali pelaporan penerima dana sumbangan kampanye (LPDSK) pada pemilu 2024 yang bisa mengurangi pelanggaran pemilu, hal itu tentu dapat mengubah citra penyelenggara dan kepercayaan publik akan Pemilu yang berkualitas, sembari membiasakan pejabat publik dengan keterbukaan informasi.
KPU perlu memfasilitasi keterbukaan pemilu, membuka upaya sistem kepemiluan terus berkembang. Banyak dimensi kepemiluan yang membutuhkan afirmasi kebijakan dalam meningkatkan partisipasi pemilih dan meminimalisasi pelanggaran pemilu.
Karena dalam sistem yang kuat, semua harus dipaksa tunduk pada aturan main demokrasi. Dengan demikian, integritas dan profesionalisme penyelenggara menjadi penentu.
Bersikap profesional memang bukanlah hal mudah, bahkan bisa saja problematis bagi KPU. Stakeholders mereka, yaitu partai politik, capres, relawan, bohir kandidat, media dan tim sukses, terkadang juga punya tawaran-tawaran menggiurkan.
Tawaran yang kerap ditujukan membeli integritas penyelenggara. Praktik itu mungkin lazim terjadi, karena wajar saja jika parpol dan kandidat mencoba memelihara hubungan baik dengan penyelenggara.
Maka ketimbang membatasi akses publik dalam menilai para kandidat legislatif, lebih baik penyelenggara pemilu memiliki kesadaran etis, dengan membatasi interaksi penyelenggara dengan kelompok kepentingan, sebatas hubungan antarlembaga, yang formalistik dan prosedural. Sedangkan interaksi di luar itu dapat dilihat sebagai problem etis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.